Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Artikel "Hujan"

Penulis Ketua Cabang Demisioner, BTA Cabang Kota Kotamobagu Tyo Mokoagow
Gambar Ilustrasi (Gambar : Google)

Penulis Ketua Cabang Demisioner, BTA Cabang Kota Kotamobagu Tyo Mokoagow 

Semestinya tidak begini, Juni, harusnya menjadi bulan yang panas dan membakar. Karena tepat bulan ini, matahari berada di sekitar garis balik lintang utara. Juni kali ini lain, berbeda! Memasuki bulan ini, hujan begitu deras dan berani menumpah-luruhkan dirinya, kontras dengan yang tertulis di buku pelajaran; harusnya ini musim kekeringan, musim kemarau.

Sudah terasa – terutama ketika aksara ini tertoreh kata demi kata – udara dingin menyelusup ke sum-sum tulang, mekanisme tubuh mengolah dirinya sendiri supaya tetap terjaga dalam kehangatan. Kali ini pikiranku sedang membeku karena dingin. Tapi hatiku, aih! Kini dia tengah hangat-hangatnya. Ketika ricik hujan luruh dari rahim semesta, kebekuan yang mengudara nyatanya mencairkan kenangan jiwa. Dalam hal ini, hujan adalah paradoks yang lucu serta jenaka.

 Tatkala langit bocor, dan gerombolan bulir hujan menyerbu bumi, keganjilan hujan bulan Juni bukan lagi petaka bagiku yang kebingungan ini. Sebab rerumputan di belakang rumah telah dia basuh, sebab dia memberikan nyawa kepada bunga yang nyaris layu di pekarangan taman, dan barisan pohon yang mulai langka di perkotaan, bisa bertahan hidup dari bencana kekeringan. Meski hujan tidak juga sepenuhnya berkah – seringkali dia berlaku jahil. Betapa kerap seseorang dengan waktu yang singkat mendadak jadi sentimental karenanya.

“Pernahkah kau bercakap-cakap dengan hujan?”

Terutama di bulan Juni, mereka punya banyak kisah petualangan menarik untuk disiarkan. Pernah sekali waktu beberapa kristal air yang tersesat dari gerombolan hujan bercerita perihal keseruan mereka mengarungi berbagai benua dan samudera: menjelajahi gurun-gurun gersang di dataran Australia, mengalir dalam tarian ombak di samudera Pasifik, hingga menunggangi angin muson dari Timur Nusantara.

Hujan bukan sekedar fenomena alam biasa, lebih dari itu, dia menyimpan rahasia. Kepadaku, dibisikanlah tentang misteri hujan: bahwa hujan adalah mesin waktu. Dia mampu membekukan peristiwa menjadi balok-balok es bernama kenangan. Bahwa hujan juga bisa menjadi almari, ketika perasaanmu kusut, setrikalah, lalu lipat hingga rapi untuk disimpan dan dipakai nanti. hujan berlaku semacam satelit, dia menyimpan begitu banyak data perihal emosi manusia. Ketika hujan tiba, cukup kau putar kembali bayang demi bayang ingatan, mengikuti tempo gemericik air yang menderau dari luar kamar. Lalu tinggal kau tunggu memori demi memori yang berangsur-angsur mencair baik di tempurung kepalamu maupun dibalik bilik dadamu.

“Pernahkah kau bercakap-cakap dengan hujan?”

Ada setetes bulir, bagian dari hujan bulan Juni, yang begitu istimewa bagiku. Ketika teks ini tengah berjalan, dia tersangkut tepat di jendela kamar. Seketika kudengar riciknya seperti membisik: “aha! Kutemukan kau!”

Akupun menjemput sebutir hujan yang baru saja menyusuri pengembaraan panjang. Kubawa dia masuk, kujamu dia bak raja – segalibnya kita menjamu tamu sesuai sunnah rasul. Kuseduh kopi, dan memantik api, menyalakan sebatang marlboro merah di kamar kost sempit ini. Sudah kusiapkan hati dan imajinasi sebagai proyektor, dan hujanpun berhikayat, lalu jiwaku tenggelam dalam ingatan hujan.

“Sebelum jatuh disini, aku tengah terombang-ambing dalam ketidakjelasan waktu dan ruang. Awalnya aku dan teman-temanku lain berhimpun dalam sebuah gugusan awan. Kami kadang membentuk awan menjadi sebuah pola, agar elok dipandang, dan membangkitkan gairah berimajinasi anak-anak. Kadang kami meniru wujud gajah, kadang kuda, kadang burung.”

Ketika itu hujan berkisah dengan amat teduh, matanya aktif menyisir langit-langit ruangan seakan merekonstruksi balok demi balok ingatan yang menyenangkan itu. Aku sendiripun teringat masa kecil. Sehabis mengejar layang-layang yang putus, aku dan teman-temanku gemar membaringkan diri di rerumputan. Sembari melayangkan tatap ke arah awan, dan mengukir garis demi garis imajinasi, membentuk ruang dan waktu pada dunia yang serasa hanya milik kita sendiri.

Hujan melanjutkan kisahnya. Kali ini dengan agak murung dan menundukan muka, “tapi demi bersauh kemari, kerapkali tidaklah mudah. Aku harus menguap dan mengembun berkali-kali; tersuling dari laut asin menjadi awan mendung atau merembes dari kawanan awan ketika terjadi turbulensi di udara, hingga ditarik oleh gravitasi bumi; aku harus mengalami siklus yang disebut kondensasi secara terus menerus.”

“Kadang aku dan kawan-kawanku terpaksa mengerubuni birai-birai karang. Seketika itu kami harus meminta maaf padanya, karena telah meruncingkan wujud mereka sehingga terlihat menakutkan di mata para nelayan.”

“Di lain waktu, bila cuaca sedang tidak bersahabat. Kerapkali kami dinilai ganas dan kejam. Misalnya ketika angin sedang kencang, langit terlihat muram dan sedih, turbulensi di udara menjadi-jadi, halilintar menggeletar,: badai tidak terhalangi lagi. Tidak ayal, langit penuh huru-hara bagai orchestra alam semesta. Rumah warga amblas dikarenakan banjir menggusur suatu pemukiman, lalu lintas perkotaan mengalami macet total, bayi-bayo polos menangis sekuat-kuatnya hingga membuat kami bergidik gemetar. Acapkali ketika itu terjadi, kami biasanya dijadikan objek kutukan serta sumpah serapah. Padahal di ujung dunia lain, dimana pedesaan dikelilingi gurun tandus, kami biasanya dipuja bahkan disembah laiknya berhala.”

“Manusia memang membingungkan,” hiburku pada bulir hujan yang syahdu itu. “Manusia suka menanam laut dalam proyek reklamasi, alibinya supaya kota tertata rapi dan elok dilihat. Disisi lain, begitu banyak sampah yang menggunung di sudut-sudut kota pun perkampungan, gorong-gorong sudah penuh dengan bau busuk dan bacin akibat ulah manusia. Kita begitu tidak peduli dengan perubahan iklim serta pengaruhnya terhadap proses simbiosis umat manusia serta keberlangsungan ekosistem. Tetapi kita mengutuk apa yang dibalas alam atas ulah kita sendiri. Manusia memang menggelikan. Dan kau, hujan, tidak perlu sedih. Terkadang kami pantas menerimanya.”

Setelah bulir hujan itu lega karena aku bisa memahami posisinya, dia kembali melanjutkan hikayat, “Perjalanan ini menyita waktu sangat panjang dan melelahkan bagiku. Proses kondensasi terus menerus begitu menyiksa. Sekarang aku mengerti, bahwa metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu, adalah proses yang sangat menyakitkan. Transformasi bentuk, dari uap ke cair dan sebaliknya, adalah proses perubahan metamorphosis yang melelahkan dan menguras tenaga.”

“Di sela-sela petualanganku, seringkali aku dihibur oleh sekawanan hujan yang sama-sama membawa pesan untuk tuannya. Seringkali senja yang semburat memancarkan bahasanya lewat pendar-pendar keemaasan dan berwarna jingga kekuning-kuningan di hamparan laut, sembari menceramahi: ‘akupun tau, selaku pembawa pesan gembira maupun duka, kesetiaan menanggung amanah adalah sebuah kehormatan bagi makhluk kosmos sepertiku. Maka hapus kesedihan di wajahmu hujan. Tetaplah maju, sampai kepada alamat yang kau tuju’.”

“Terkadang aku juga terlibat percakapan dengan para nelayan. Saat itu kebetulan aku menyatu dengan perairan. Setelah capek bermain dengan gulungan ombak yang berkejaran., aku menghampiri seorang lelaki tua berbadan legam dengan caping dikepalanya. Dia tengah asyik menjaring ikan di tengah samudera, dia berceloteh perlbagai perkara kehidupan: ‘aku akan bersauh, kemanapun ikan pergi berenang, meski itu sejauh menempuh horizon, hingga layar sampanku tenggelam dalam pandangan bibir pantai. Dan tidak ada secuilpun getir bersemayam dalam batinku. Sebab aku tahu, kecintaan akan rumah, menuai harga atas ikan yang kutangkap demi keluarga, adalah pedoman sejati bagi pengembara lautan manapun.’ Tutur kakek berbadan legam dan bercaping itu.”

Seraya memekarkan senyum dipipinya, “Aku percaya, bahwa rindu adalah kompas yang tidak mungkin berdusta. Dan doa-doa senantiasa jadi suar penerang perjalanan menuntun ke arahmu. Hari demi hari, aku mengembarai belantara samudera dan pulau-pulau Nusantara untuk mengantarkan pesan padamu.”

“Ketika aku curhat pada semesta, mereka langsung memahami perasaanku. Mereka juga mahfum, betapa menyakitkan rindu yang tak terbalas dan tak bernama. Sebagaimana semua makhluk merindukan haribaan sang Pencipta. Semestapun menyalakan simfoninya, meletakan rindu sebagai komposisi utama dalam teater universal alam raya. Tugasku hanya menyesuaikan tarian dengan irama. Dan rindu yang kubawa sebagai pesan, ialah peta perjalanan menuju ke pucuk tujuan.”

“Aku hanyalah setetes hujan, yang bereinkarnasi dari air yang tumpah di mata seorang perempuan yang menunggumu. Aku adalah sebutir air asin yang lahir dari hati yang rapuh dan rikuh karena diterkam rindu yang tajam, diluapkan oleh jendela matanya, sembari gemetar menggenggam doa yang hendak dia serahkan kepada Tuhan, ‘tolong bantu dia, untuk cepat pulang’, katanya, ‘aku rindu dia, Tuhan’.”

“Bagaimanapun juga kita tidak mungkin bisa mengelak. Bahwa air mata yang tumpah karena laranya merindu, jauh lebih asin dari samudera; jauh lebih pahit dari kopi tanpa gula. Barangkali aku yang tumpah dari balik bilik dadanya, adalah bagian dari hati yang tersayat pedih: Tatkala ruang dan waktu bersekutu, terciptalah skenario konspirasi. Rindu mendadak menjelma jadi silet, dia mengiris kalbu. Meski bukan darah yang mengucur, tapi aku.”

“Lalu aku tersimpuh di lantai. Ketika fajar tiba, sedikit hangat cahaya sudah cukup membantuku menjelma jadi uap, lalu mencari celah menyelinap keluar rumah, agar kemudian bersatu dengan sekawanan awan, yang membawa berita rindu dari Sulawesi Utara, ke Jawa Barat.”


“Pernahkah kau bercakap-cakap dengan hujan?”