Lebaran dan Keterasingan
Tak terasa telah dua pekan berlalu sejak umat muslim diseluruh dunia memulai ibadah wajib yang dilaksanakan setiap bulan ramadhan. Ya ibadah puasa. Ibadah yang menjadi simbol pengendalian diri dalam upaya mengendalikan gerak thanatos, atau bisa dibilang usaha menjinakkan potensi jahat yang ada pada manusia.
Moment kemenangan melawan hawa nafsupun sudah semakin dekat. Umat muslim beramai - ramai mempersiapkan segala kebutuhannya untuk menyambut hari kemenangan. Ibu - ibu rumah tangga mulai sibuk menyiapkan kue untuk disajikan pada hari lebaran, beberapa keluarga tengah bersiap untuk mudik, toko toko perbelanjaan mulai dipadati pengunjung, mana dang qt p THR ? Mulai terselip dalam setiap chat maupun perjumpaan.
Lebaran memang merupakan momen yang paling dinanti. Bagi makhluk yang sadar akan adanya, yang memukimi tempat ia mendunia ; dalam artian memberi makna ruang dan waktu, ada sebuah perasaan yang hadir setiap kali kita mengunjungi kampung halaman dikala lebaran. Perasaan itu menurut Heidegger adalah perasaan kembali ke dunia yang pernah dimukimi. perasaan persentuhan kembali dengan dunia yang pernah dimukimi. Sudut - sudut kampung yang mengingatkan kita dengan permainan masa kecil bukan sekedar datum psikologi, bukan sekedar pengalaman masa lalu yang membekas, melainkan cara mengada manusia itu sendiri. Sederhananya cara berproses manusia itu sendiri;sebab manusia tak pernah berhenti berproses mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang ada serta kematian adalah akhir dari proses tersebut. Karena dengan kenangan itu kita menghadirkan kembali ruang yang pernah dimukimi tersebut.
Berkumpul dan bercanda bersama keluarga,kerabat serta sahabat atau orang terdekat ditempat yang pernah dimukimi itu terasa begitu nyaman sekaligus menyedihkan. Menyedihkan ketika kita sadar bahwa tak setiap saat kita dapat berkumpul dan bercanda ditempat yang pernah kita mukimi. Bisa dikarenakan ada orang terdekat yang tidak bisa lagi berjumpa seperti keluarga yang telah meninggal ataupun sebuah rumah tangga yang tak lagi utuh. Sebuah kenangan bahwasannya kita ada disana, disudut kampung itu, disebuah rumah sederhana, bercanda dan tertawa bersama orang - orang terkasih hadir ketika kita mengunjungi kembali rumah itu. Namun kenyataan bahwasannya kondisi itu tak mungkin terulang kembali merupakan sebuah keterasingan dari rumah itu.Rumah itu memang masih ada, namun kita asing dengan suasana didalamnya. atau bahkan kampung yang membekas itu tak lagi bisa kita mukimi seperti yang terjadi pada muslim rohingya, muslim suriah(aleppo), hingga yang terbaru muslim marawi.
Apa yang terjadi pada mereka menurut arendt merupakan sebuah ketercerabutan. Dimana mereka tidak bisa lagi bersentuhan dengan sudut - sudut kampung yang dibumi hanguskan perang. Ketakberumahan terus berlanjut hingga ketempat baru yang mereka tempati setelah Islamophobia semakin menjalar. Terasing dari kampung halaman, terasing dari dunia baru. Alienasi dan ketakberumahan ini, menurut Heidegger, adalah kondisi yang membuat homo sapiens(manusia bijaksana) bertransformasi menjadi homo brutalis (manusia keji) dalam rezim - rezin totaliter. Pengungsi dan pengangguran mengalami keterasingan dari dunianya. Dengan kondisi ini, membuat mereka diperhadapkan langsung dengan situasi survival yang salim mengancam. Jadilah manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Jadilah manusia lain menjadi sebuah neraka.
Moment kemenangan melawan hawa nafsupun sudah semakin dekat. Umat muslim beramai - ramai mempersiapkan segala kebutuhannya untuk menyambut hari kemenangan. Ibu - ibu rumah tangga mulai sibuk menyiapkan kue untuk disajikan pada hari lebaran, beberapa keluarga tengah bersiap untuk mudik, toko toko perbelanjaan mulai dipadati pengunjung, mana dang qt p THR ? Mulai terselip dalam setiap chat maupun perjumpaan.
Lebaran memang merupakan momen yang paling dinanti. Bagi makhluk yang sadar akan adanya, yang memukimi tempat ia mendunia ; dalam artian memberi makna ruang dan waktu, ada sebuah perasaan yang hadir setiap kali kita mengunjungi kampung halaman dikala lebaran. Perasaan itu menurut Heidegger adalah perasaan kembali ke dunia yang pernah dimukimi. perasaan persentuhan kembali dengan dunia yang pernah dimukimi. Sudut - sudut kampung yang mengingatkan kita dengan permainan masa kecil bukan sekedar datum psikologi, bukan sekedar pengalaman masa lalu yang membekas, melainkan cara mengada manusia itu sendiri. Sederhananya cara berproses manusia itu sendiri;sebab manusia tak pernah berhenti berproses mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang ada serta kematian adalah akhir dari proses tersebut. Karena dengan kenangan itu kita menghadirkan kembali ruang yang pernah dimukimi tersebut.
Berkumpul dan bercanda bersama keluarga,kerabat serta sahabat atau orang terdekat ditempat yang pernah dimukimi itu terasa begitu nyaman sekaligus menyedihkan. Menyedihkan ketika kita sadar bahwa tak setiap saat kita dapat berkumpul dan bercanda ditempat yang pernah kita mukimi. Bisa dikarenakan ada orang terdekat yang tidak bisa lagi berjumpa seperti keluarga yang telah meninggal ataupun sebuah rumah tangga yang tak lagi utuh. Sebuah kenangan bahwasannya kita ada disana, disudut kampung itu, disebuah rumah sederhana, bercanda dan tertawa bersama orang - orang terkasih hadir ketika kita mengunjungi kembali rumah itu. Namun kenyataan bahwasannya kondisi itu tak mungkin terulang kembali merupakan sebuah keterasingan dari rumah itu.Rumah itu memang masih ada, namun kita asing dengan suasana didalamnya. atau bahkan kampung yang membekas itu tak lagi bisa kita mukimi seperti yang terjadi pada muslim rohingya, muslim suriah(aleppo), hingga yang terbaru muslim marawi.
Apa yang terjadi pada mereka menurut arendt merupakan sebuah ketercerabutan. Dimana mereka tidak bisa lagi bersentuhan dengan sudut - sudut kampung yang dibumi hanguskan perang. Ketakberumahan terus berlanjut hingga ketempat baru yang mereka tempati setelah Islamophobia semakin menjalar. Terasing dari kampung halaman, terasing dari dunia baru. Alienasi dan ketakberumahan ini, menurut Heidegger, adalah kondisi yang membuat homo sapiens(manusia bijaksana) bertransformasi menjadi homo brutalis (manusia keji) dalam rezim - rezin totaliter. Pengungsi dan pengangguran mengalami keterasingan dari dunianya. Dengan kondisi ini, membuat mereka diperhadapkan langsung dengan situasi survival yang salim mengancam. Jadilah manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Jadilah manusia lain menjadi sebuah neraka.