Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

(Opini) Minggu Pertama Sekolah; Wajah Polos Pendidikan Kita


Oleh: Syahrul, S.Pd 


Yang paling hebat bagi seorang guru adalah MENDIDIK,
Dan rekreasi yang paling indah adalah MENGAJAR.
Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan,
Terkadang hati teruji kesebarannya,
Namun hadirkanlah gambaran bahwa
Diantara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju syurga.
(KH. Maemun Zubair)


Liburan telah usai, untuk wilayah Sulawesi Utara waktu libur berdasarkan Kalender pendidikan yang ada berkisar dua minggu-an dalam menyambut hari Natal dan Pesta Tahun baru. Kini aktivitas persekolahan kembali berjalan seperti hari-hari sebelumnya, ketika saya melihat ponsel mini ku beragam status dan komentar yang tertulis di media sosial yang ada (BBM, Facebook, Twitter, Dll), ada yang bergembira ada pula yang bersedih, mungkin mereka yang bergembira dikarenakan kembali bertemu dan berkumpul dengan teman-temannya dan ingin segera menceritakan pengalaman berliburnya selama mereka berlibur, namun ada juga beberapa yang bersedih, entah kenapa hal itu tersirat mungkin karena mereka merasa bersdeih akan kembali berada pada kondisi, dimana ruang geraknya di batasi oleh dinding-dinding yang berbentuk kubus dengan segala jenis mata pelajaran yang rumit, mulai pelajaran matematika, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris, Sosiologi yang masuk di kepala mereka silih berganti, bahkan mungkin mereka berpikir akan kembali bertemu dengan teman sebayanya yang tak disukai ataukah Guru yang Killer dengan senyum yang datar dan kaku. Ah ... Mungkin ini hanya penafsiranku saja dalam membaca status-status mereka yang lalu lalang di status BBM dan beranda Facebook saya.

Wajah Polos Pendidikan Kita, mengapa saya memilih kata "Polos", untuk pendidikan kita hari ini yang serba kompleks dengan segala ketimpangan yang ada dan sudah menjadi rahasia umum di dunia pendidikan kita dengan segala praktek – praktek pendidikan yang terkadang menyimpang dari amanat Undang-undang dan peraturan Pemerintah yang berlaku. Hal ini karena menurut hemat saya sebagai seorang tenaga pengajar yang berada di Lingkungan pedesaan inilah bentuk kepolosan yang ada dimana kita ternina bobokan oleh jeratan sistem yang diperankan oleh orang-orang yang hanya melihat pendidikan sebagai alat pengembira semata, bukan sebagai senjata revolusi dalam mendidik dan melahirkan generasi bangsa yang mumpuni untuk menghadapi zaman yang serba multidimensi ini, disisi lain saya tetap optimis bahwa dengan pendidikanlah maka seseorang itu bisa di bentuk menjadi manusia yang lebih sempurna, bukan pula sebagai bentuk keterpaksaan ataupun pasrah akan keadaan yang ada, tetapi jauh dari itu hal ini merupakan bagian dari usaha saya dalam memainkan peran-peran kecil dan strategis dalam dunia pendidikan kita saat ini.

Sebelum lebih jauh berbicara mengenai kepolosan-kepolosan lainnya, saya ingin mengajak para pembaca melihat sisi ideal dunia pendidikan kita dengan menengetengahkan Bapak Pendidikan Kita Ki Hajar Dewantara sebagai pemikir dan penggagas pendidikan di Indonesia. Dimana Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan. Beliau juga mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Menurutnya, manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela Nusa dan Bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar dengan pendekatan Sistem Among yaitu Metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada Asih, Asah dan Asuh (care and dedication based on love).


Dan saya mencoba memaknai semboyan sampai saat ini yang merupakan "Konsep Trilogi Kepemimpinan" yang terdiri dari Ing Ngarsa Sung Taladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani; dimana, Ing Ngarsa sung Tuladha (Di Depan menjadi Contoh atau Panutan) bahwa menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang – orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan; dan Ing Madya Mangun Karso (Di Tengah Berbuat Keseimbangan atau Penjalaran) bahwa seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan; dan yang terakhir Tut Wuri Handayani (Di Belakang membuat Dorongan atau Mendorong) bahwa seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang–orang disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat. Sehingga menurut hemat saya, Semboyan yang dicetuskan oleh bapak Ki Hajar Dewantara ini masih sangat konteks untuk dunia pendidikan kita hari ini terlepas seperti apapun pemaknaannya, namun yang terpenting disini bahwa hadirnya pendidikan kita tak lain hanya untuk memanusiakan manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. 

Mengakhiri tulisan saya ini, besar harapan saya bahwa seyogyanya pendidikan kita hari ini haruslah di kelolah sebagaimana mestinya dengan merujuk pada idealitas sistem pendidikan dan aturan yang berlaku di negeri kita ini, tanpa lobi, tanpa trik dan intrik, tanpa jualan politik para penguasa, dan pastinya peran Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus lebih gesit mengambil peran-peran pencerdasan dan pencerahan kepada peserta didik yang ada, bukankah kita tak ingin merubah wajah-wajah polos mereka menjadi wajah yang suram tanpa cita-cita dan ketidakjelasan akan masa depan.

Wallahu’alam Bissawab.


Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang,
Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. IKHLASNYA jadi hilang,
Yang penting NIAT menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik.
Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan kepada Allah Swt.
Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.
(KH. Maemun Zubair)


Penulis adalah Guru SMA Negeri 2 Dumoga, Kecamatan Dumoga Barat, 
Kabupaten Bolaang Mongondow