Generasi Muslim Dan Identitas
Assalamu'Alaikum Wr, Wb
Selamat Malam
Sahabat Semua
Pendidikan mengajarkan kita banyak hal, dari segi ilmu pengetahuan, pengetahuan sampai dengan sikap sebagai orang yang berpendidikan. pendidikan memiliki beberapa kata bantu pen dan an dan ditengahnya didik.
Kita sering melupakan makna tengah yang ada pada kata Pendidikan yang merupakan pembinaan. Menjadikan generasi yang di didik dan bisa melahirkan generasi pembangkit bangsa dan masyarakat yang berdikari untuk bangsa.
Pada pendidikan di sekolah Dasar (SD), terdapat mata pelajaran budaya yang mengajarkan kita darimana kita berasal serta pelajaran agama dari formas maupun informal, kedua ini membangun indentitas siapakah kita ?, untuk apakah kita ?,
Didikan keduanya diharapkan melahirkan attitude yang baik dan bukan menjadi diri orang lain. Disamping itu, sarana perubahan sosial kini bergulir dari masyarakat. Perubahan sosial budaya alami kini telah jarang ditemui selain akibat perubahan iklim.
Kini perang yang tersaji dihadapan adalah perubahan sosial budaya manusiawi yang pelaku sendiri lahir dari masyarakat itu sebagai pemerannya. Perubahan itu menjadi grand design dengan manusia menjadi master mind-nya, dengan mengedapankan skala prioritas individu, kelompok, bahkan kumpulan lebih besar lagi. Masa depan menjadi alasan untuk sesuatu hal yang diproyeksikan oleh pelaku atau kelompok.
Tidak ada yang bisa mengisolasi diri mereka, dari perubahan ini. Terlebih ketika hilangnya figur-figur yang menjadi panutan dizaman ini. Kehilangan Embrio inspiratif ini membuat masyarkat dan kaum muda kehilangan arah.
Dinamika atas skala prioritas untuk membangun masa depan menjadi samudra dengan angin dan ombak yang dahsyat siap untuk menerjang. Manusia yang berfikir tidak layaknya atas nilai-nilai warisan yang tinggalkan para pendahulu sehingga melahirkan generasi yang memiliki mental selalu bernostalgia degan produk atau hasil karya pendahulu.
Sikap ini dengan sendirinya menciptakan fanatisme buta tanpa epistemologi yang mendasar sehingga melahirkan "the ignorence to the something is the root of prejidice" kata I.J.C Brown pada buku Dimensi Transendetal dan Transformasi Sosial Budaya (2008).
Peristiwa ini juga tak bisa dihindari umat muslim masa kini terlebih generasi muda yang masih duduk di bangku pelajar. Dengan perubahan yang nyaring atas modernisme atau modernisasi kaum muda menjadi objek ter-enak untuk menggusur paradigma Prinsip-prinsip keislaman.
Keadaan ini menjadi fenomena tak lazim. Dengan berkembangnya ketokohan untuk menarik perhatian generasi muda untuk diikuti yang nyatanya tersimpan makna jual-beli hingga memperkaya orang kaya, mampu menggeserkan pemikiran dan indentitas generasi yang menjadi tongkat estafet umat dan bangsa kedepannya.
Di Indonesia sendiri negara dengan penduduk muslim yang besar harusnya menjadi bangsa percontohan negara-negera lainnya jika prinsip dasar masih kuat tertanam dalam sanubari. Karena Al Qur'an merupakan pedoman nyata bahkan terdapat pemikiran yang baik, entah dari theo sentries, ataupun antropo sentries, bahkan pemikiran lainnya yang membangun attitude yang bermanfaat bagi manusia lainnya sebagai ciri sosial, serta etos kerja dalam rangka membangun perekonomian dunia dan amal jhariah kelak.
Fenomena ini menjadi kerisauan sendiri. Generasi muda haruskah ada pembaharuan ditengah polemik umat. Sadari dalam sebuah tulisan Nurcholis Madjid dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat" sedikitnya menerangkan Indonesia telah jatuh kembali dalam situasi stagnasi dan telah kehilangan daya gerak psikologis (psychological striking force). Untuk menjaga keberlangsungan umat, umat Islam dihadapkan pada dua pilihan antara keharusan pembaharuan dan mempertahankan sikap tradisionalisme.
Perkembangan pemikiran terus berlangsung. Agama dan Budaya sebagai bentuk penanaman dasar nilai Attitude dipertaruhkan, Islam dengan indentitas luhur bangsa berbudaya kini mulai terombang-ambing.
Transformasi budaya dan pemikiran tengah bergulir dengan diiringi mobilasasi penduduk yang multikultur. Perlukah Reaktualisasi ajaran Islam untuk menjaga indentitas ini ? ataukah permecahan problematika lainnya.
Generasi muda hanya memiliki pilihan bertarung atau bergabung, bertanding atau bersanding yang kemudian melahirkan atau mengalirkan dinamika. Fenomena ini mengajak kita untuk melakukan Rekontemplasi diri selaku individu, Reevaluasi sebagai masyarakat sosial, dan Reposisi sebagai tugas generasi saat ini. Ini bukan hanya semata-mata untuk melawan stigma hegemoni di tengah modernisasi.
Tetapi juga harus adanya pembaruan pemikiran untuk Prinsip dasar menjaga Indentitas. Kuntowijoyo menerangkan dalam bukunya menawarkan solusi akan fenomena ini.
Pertama perlunya dikembangkan penafsiran sosial kultur ketika memahami peraturan dan kentetuan Al-Qur'an, kedua mengubah cara berfikir subjektif dan lebih objektif-rasional, ketiga mengubah Islam normatif menjadi teroitis dan berubah menjadi kerangka-kerangka teori Ilmu, keempat mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis sehingga mengetahui siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari sistem yang ada. Kelima bagaimana meng-formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi spesifik dan empiris.
Penulis : Suparman Soleman
Selamat Malam
Sahabat Semua
Pendidikan mengajarkan kita banyak hal, dari segi ilmu pengetahuan, pengetahuan sampai dengan sikap sebagai orang yang berpendidikan. pendidikan memiliki beberapa kata bantu pen dan an dan ditengahnya didik.
Kita sering melupakan makna tengah yang ada pada kata Pendidikan yang merupakan pembinaan. Menjadikan generasi yang di didik dan bisa melahirkan generasi pembangkit bangsa dan masyarakat yang berdikari untuk bangsa.
Pada pendidikan di sekolah Dasar (SD), terdapat mata pelajaran budaya yang mengajarkan kita darimana kita berasal serta pelajaran agama dari formas maupun informal, kedua ini membangun indentitas siapakah kita ?, untuk apakah kita ?,
Didikan keduanya diharapkan melahirkan attitude yang baik dan bukan menjadi diri orang lain. Disamping itu, sarana perubahan sosial kini bergulir dari masyarakat. Perubahan sosial budaya alami kini telah jarang ditemui selain akibat perubahan iklim.
Kini perang yang tersaji dihadapan adalah perubahan sosial budaya manusiawi yang pelaku sendiri lahir dari masyarakat itu sebagai pemerannya. Perubahan itu menjadi grand design dengan manusia menjadi master mind-nya, dengan mengedapankan skala prioritas individu, kelompok, bahkan kumpulan lebih besar lagi. Masa depan menjadi alasan untuk sesuatu hal yang diproyeksikan oleh pelaku atau kelompok.
Tidak ada yang bisa mengisolasi diri mereka, dari perubahan ini. Terlebih ketika hilangnya figur-figur yang menjadi panutan dizaman ini. Kehilangan Embrio inspiratif ini membuat masyarkat dan kaum muda kehilangan arah.
Dinamika atas skala prioritas untuk membangun masa depan menjadi samudra dengan angin dan ombak yang dahsyat siap untuk menerjang. Manusia yang berfikir tidak layaknya atas nilai-nilai warisan yang tinggalkan para pendahulu sehingga melahirkan generasi yang memiliki mental selalu bernostalgia degan produk atau hasil karya pendahulu.
Sikap ini dengan sendirinya menciptakan fanatisme buta tanpa epistemologi yang mendasar sehingga melahirkan "the ignorence to the something is the root of prejidice" kata I.J.C Brown pada buku Dimensi Transendetal dan Transformasi Sosial Budaya (2008).
Peristiwa ini juga tak bisa dihindari umat muslim masa kini terlebih generasi muda yang masih duduk di bangku pelajar. Dengan perubahan yang nyaring atas modernisme atau modernisasi kaum muda menjadi objek ter-enak untuk menggusur paradigma Prinsip-prinsip keislaman.
Keadaan ini menjadi fenomena tak lazim. Dengan berkembangnya ketokohan untuk menarik perhatian generasi muda untuk diikuti yang nyatanya tersimpan makna jual-beli hingga memperkaya orang kaya, mampu menggeserkan pemikiran dan indentitas generasi yang menjadi tongkat estafet umat dan bangsa kedepannya.
Di Indonesia sendiri negara dengan penduduk muslim yang besar harusnya menjadi bangsa percontohan negara-negera lainnya jika prinsip dasar masih kuat tertanam dalam sanubari. Karena Al Qur'an merupakan pedoman nyata bahkan terdapat pemikiran yang baik, entah dari theo sentries, ataupun antropo sentries, bahkan pemikiran lainnya yang membangun attitude yang bermanfaat bagi manusia lainnya sebagai ciri sosial, serta etos kerja dalam rangka membangun perekonomian dunia dan amal jhariah kelak.
Fenomena ini menjadi kerisauan sendiri. Generasi muda haruskah ada pembaharuan ditengah polemik umat. Sadari dalam sebuah tulisan Nurcholis Madjid dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat" sedikitnya menerangkan Indonesia telah jatuh kembali dalam situasi stagnasi dan telah kehilangan daya gerak psikologis (psychological striking force). Untuk menjaga keberlangsungan umat, umat Islam dihadapkan pada dua pilihan antara keharusan pembaharuan dan mempertahankan sikap tradisionalisme.
Perkembangan pemikiran terus berlangsung. Agama dan Budaya sebagai bentuk penanaman dasar nilai Attitude dipertaruhkan, Islam dengan indentitas luhur bangsa berbudaya kini mulai terombang-ambing.
Transformasi budaya dan pemikiran tengah bergulir dengan diiringi mobilasasi penduduk yang multikultur. Perlukah Reaktualisasi ajaran Islam untuk menjaga indentitas ini ? ataukah permecahan problematika lainnya.
Generasi muda hanya memiliki pilihan bertarung atau bergabung, bertanding atau bersanding yang kemudian melahirkan atau mengalirkan dinamika. Fenomena ini mengajak kita untuk melakukan Rekontemplasi diri selaku individu, Reevaluasi sebagai masyarakat sosial, dan Reposisi sebagai tugas generasi saat ini. Ini bukan hanya semata-mata untuk melawan stigma hegemoni di tengah modernisasi.
Tetapi juga harus adanya pembaruan pemikiran untuk Prinsip dasar menjaga Indentitas. Kuntowijoyo menerangkan dalam bukunya menawarkan solusi akan fenomena ini.
Pertama perlunya dikembangkan penafsiran sosial kultur ketika memahami peraturan dan kentetuan Al-Qur'an, kedua mengubah cara berfikir subjektif dan lebih objektif-rasional, ketiga mengubah Islam normatif menjadi teroitis dan berubah menjadi kerangka-kerangka teori Ilmu, keempat mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis sehingga mengetahui siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari sistem yang ada. Kelima bagaimana meng-formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi spesifik dan empiris.
Penulis : Suparman Soleman