Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kongres HMI Ke-29 : Sebuah Napak Tilas



oleh: Tyo Mokoagow

Di Sekolah Tinggi Islam (STI) (kini UII – Universitas Islam Indonesia), tepatnya di suatu ruangan kelas yang harusnya saat itu diadakan pemberian kuliah seperti biasanya, berdiri di tengah-tengah penyimak seorang pria muda yang sedang memberikan sebuah testimoni, mencoba meyakinkan hampir 30 orang yang terlibat dalam forum sakral itu. Mahasiswa tingkat I itu, Lafran Pane, dengan lantang mengangkat kata-kata: “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Sikap ini diambil, karena kebutuhan terhadap organisasi ini sudah sangat mendesak. Yang mau memerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan.” Kelak, hari penting itu akan dirayakan sebagai salah satu hari yang memiliki kesan penting bagi keberlangsungan bangsa dalam melintasi perubahan sejarah; 68 tahun sudah HMI berkarya dalam dedikasinya.

Saya kadangkala berimaji, betapa hangat dan puas jadinya bila Lafran Pane (founding fathers) masih diberikan kesempatan berupa usia, dan menjadi saksi atas perjalanan panjang organisasi yang dia cetuskan. Organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia, HMI, telah banyak mencetak tulang punggung negara di berbagai bidang kehidupan yang bersentuhan dengan masyarakat entah secara langsung maupun tidak langsung. Distribusi kader dan kepiawaian menarik simpati non-kader di berbagai jenjang yang bersifat hierarkis, entah dalam skala kota/kabupaten, provinsi, nasional maupun internasional telah memberi modal yang kuat dalam mengeksekusi gagasan kebangsaan dan keumatan yang telah dikhayalkan sejak lama. Meskipun bukan tanpa kendala sama sekali, terlampau banyak angin kencang yang menabrak konsistensi organisasi ini dalam menegakkan idealismenya sebagai mahasiswa, umat Islam maupun bagian dari sistem sosial. Terkadang indikasi itu berasal dari luar, dan tidak jarang tumbuh dari dalam struktur sendiri.

Dalam pemahaman saya setelah belum lama berkecimpung dalam organisasi ini, terdapat dua jenis kader: pertama, adalah kader yang dibesarkan oleh HMI dan kedua, kader yang membesarkan HMI. Pada tipe pertama, biasanya adalah mereka yang memendam motif oportunis dan pragmatis. Mereka menggandeng label HMI sebagai modal pribadi dengan tendensi mencari manfaat individual entah itu bagi kerja, prestise, kehormatan, popularitas, ekslusifitas, dompet, relasi dan macam-macam lainnya. Dengan logika dasar: berlindung di pohon yang besar dan rimbun akan instan memberi kesejukan dan kecipratan jatuhnya buah dari dahan-dahannya yang kekar, bercabang banyak, lagi bergizi bagus.
Aku lebih senang dengan tipikal kedua: mereka yang berkomitmen utama untuk mengedepankan membesarkan marwah organisasi sebagai prinsip utama kader, menjalankan dan senantiasa menerjemahkan mission sacred HMI dari tataran normatif ke tataran praksis. Mereka adalah orang yang meminimalisir kebutuhan pribadi dalam aktivitasnya, dan memberikan porsi energi sebanyak-banyaknya demi manfaat organisasi entah itu secara struktural, finansial, materiil, moral, ataupun intelektual. 
Dan tentu saja, pengabdian dalam bentuk apapun kepada rumah organisasi – dimanapun kita berproses – memiliki keharusan mutlak, untuk selalu berupaya agar sekecil apapun itu, semoga bisa memberikan kontribusi atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT (Masyarakat Madhani atau Civil Society).

Watak tersebut haruslah menjadi cerminan sebagai prototype kader ideal (insan Cita). Meskipun ironis, saya dan anda tau, bahwa begitu sedikit dan jarang tipikal kader itu dibandingkan tipikal pertama. Kadang saya berpikir, “gampang saja melacak dimana keberadaan kader yang insan Cita itu, cari saja mereka yang didiskriminasi, diasingkan, dibunuh  secara karakter, teralienasi, biasanya adalah orang-orang yang berkata benar dan membuat mereka yang jahat ketar-ketir ketakutan, makanya yang baik biasanya dihancurkan dengan begitu terorganisir”. Bukan berarti aku mendiskreditkan eksistensi HMI, tapi agaknya mekanisme ini berlaku juga di wadah yang lain entah itu dalam himpunan mahasiswa, politik, komunitas, dan sebagainya. Jangan heran politik uang (money politik), propaganda dengan cara stigmatisasi, hegemoni lewat teror dan ketakutan, merupakan metode yang paling ampuh memenangkan PEMILU. 
Hal itu disebabkan karena pemilihan kita yang diukur dari suara mayoritas, sedangkan mayoritas itu biasanya pragmatis, materistis, berpikiran sempit, ceroboh, gegabah, susah, suka instan, konsumtif, dan sebagainya. Makanya jangan heran lebih sedikit orang berpendidikan dibanding orang non-berpendidikan, lebih banyak orang miskin daripada kaya, lebih banyak orang malas daripada kritis, lebih banyak orang apatis daripada pro-aktif, lebih banyak pragmatis daripada idealis.
Tapi diatas pesimisme dan rasa sedih melihat realitas yang terjadi di tengah pusaran kekuatan yang begitu dinamis ini, selalu aku menghibur diri melihat titik-titik kecil sebagai modal menaruh optimisme pada masa depan kita bersama. Bukankah Rasulullah harus siap dilempari kerikil dan kotoran sebelum memperoleh pengikut-pengikut setia, maka aku percaya Tuhan selalu berada di tengah-tengah mereka yang benar dan konsisten apalagi mereka yang serius mendedikasikan diri dalam tugas suci perkaderan. Masih ada harapan pada HMI, aku yakin itu, dan semoga Kongres nanti bisa mewujud sebagai forum yang dialektis dan kaya akan diskursus-diskursus yang lebih substansial daripada ketidakarifan berpolitik, aksi-aksi primitif, libido kekuasaan, serta arogansi kebinatangan yang marak laiknya kongres 28 silam. Besar harapan, kader HMI se-Nusantara sudah cukup dewasa setelah instropeksi dari kejadian terakhir. Besar juga harapan, semakin sedikit sedikit penumpang gelap (dark passenger) kebesaran HMI dan semakin banyak loyalis ideologis.

KEISTIMEWAAN KALI INI..

Senang rasanya, apabila orang yang kau cintai dihargai, dihormati, disayangi, dikasihi, diberikan keistimewaan-keistimewaan tertentu. Itulah yang aku rasakan, dan semoga kader lain dimanapun kalian berada merasakan hal yanag sama, sebuah kebanggan bisa mendapatkan kepercayaan publik atas pelayanan demi pelayanan berikhtiar menjalankan amanah bangsa dan agama. Setelah bansos yanag begitu luar biasa banyaknya dikucurkan oleh pemerintah provinsi Riau, baru-baru ini salah satu maskapai terbang besar di Indonesia siap membantu proses mobilisasi peserta dengan menyediakan pesawat yang secara ekslusif tertempel logo kongres HMI. Meski tentunya previllege ini jangan sampai membuat kita kepala besar dan ujung-ujungnya terbawa keangkuhan karena pelan-pelan telah diakui sebagai kelompok elite dengan berbagai fasilitas mewah. Lebih dari itu, harusnya membuat kita lebih sering ber-taffakur dan meningkatkan kinerja baik program maupun visi yang lebih baik lagi bagi pembangunan bangsa dan negara.

Kata siapa tidak ada masalah dalam proses persiapan penyelenggaraan kongres ini? Sebagaimana pohon bila kita analogikan, semakin tinggi maka semakin gampang digoyang angin apalagi kalau akarnya tidak kuat tertancap. Semakin besar kiprah organisasi, semakin menuai dukungan dan pengakuan oleh publik, semakin rentan runtuh dan tumbang oleh zaman. Sejarawan besar yang kukena bernama Arnold Toynbee bertesis: apabila suatu kekuatan peradaban memuncak, maka gejala keruntuhan (decline) akan nampak. Bukankah peradaban Islam mundur dan diam di tempat tatkala sudah merasa angkuh dan besar dibanding peradaban lain? Sebagai organisasi yang menyadari mekanisme sejarah berlaku, baiknya kita peka atas degenerasi moral dan intelektual yang agaknya mulai tampak saban hari.

Salah satu ketakutanku adalah, semakin elite HMI, maka akan semakin berjarak dengan rakyat. Bukankah kita semua sepakat bahwa alasan kehadiran (raison d’etre) organisasi ini terderivasikan langsung dari dua variabel utama: keIslaman dan kebangsaan yang keduanya sama-sama menempatkan rakyat sebagai pusat orientasi paradigma. Aku takut, semakin ekslusif kita maka akan semakin sempit dan kecil akses kita dengan rakyat, terutama rakyat yang terbiasa hidup kelaparan dan lupa caranya berbahagia di negara sendiri.

Memang benar sebagaimana pembacaan Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam, bahwa model perubahan HMI adalah dari atas ke bawah (up-bottom). Dimana distribusi kader berfokus pada institusi-institusi yang memegang otoritas membuat kebijakan-kebijakan strategis entah itu dalam politik, ekonomi maupun hukum. Barangkali yang paling representatif adalah Rakanda Jusuf Kalla yang mencapai level Wakil Presiden bahkan dua kali, dan untuk yang terluas adalah Rakanda Machfud MD yang sempat mencicipi pengabdian pada tiga lembaga utama: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Paradigma strukturalistik ini telah tertanam kuat dan teguh dalam alam bawah sadar kader. Pemahaman kader HMI sudah cukup mantap dalam keahlian mengelola sistem, struktur dan pola-pola komunikasi strategis dalam membuat rekayasa sosial. Tidak ayal lagi, kita memiliki kecondongan untuk dekat dengan pusat-pusat kekuasaan.

Akan tetapi kita semua sadar, kekuasaan itu senantiasa menarik dicolek, dia menawan dan menarik orang-orang untuk berkompetisi meraihnya. Kekuasaan berlaku bak permata atau berliah yang mengkilau, akan tetapi tidak semua yang berkilau itu indah. Sepemahamanku, gara-gara perebutan kekuasaan orang rela menjadi pembunuh, perampok, dan pengkhianat. Aku lebih banyak melihat orang-orang busuk daripada baik dalam pusaran kekuasaan dimanapun ia berada. Lord Acton juga begitu, berkata kekuasaan itu berkecenderungan ke arah tindakan yang korup. 
Maka harus kita takutkan, apabila organisasi tercinta kita sudah begitu dekat dengan lokus-lokus kekuasaan, maka kita harus berani curiga dan waspada supaya jauh dari jebakan keserakahan akan kuasa apalagi rupiah. Aku juga khawatir, jangan-jangan karena paradigma strukturalistik yang begitu kuat terpatri, kita diam-diam mengidolakan kekuasaan dibanding hasrat mengabdi. Bukankah cukup jelas Cak Nur bernasehat: kekuasaan bukan tujuan, hanya kekuasaan dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan. Hanya saja banyak yang tidak fokus, dan malah berbuat sebaliknya.

Memahami kondisi psikologis yang tengah bergejala luas ini, kita kembali dihadapkan pada ujian publik yang lain. Kecaman dan kecurigaan berdatangan menyikapi bantuan sosial dari pemprov Riau pada perlehatan Kongres nanti. Bantuan 3 M dianggap terlalu lebay oleh berbagai pihak yang bahkan datang dari dalam internal HMI sendiri. Beberapa diantaranya beranggapan bahwa tidak mungkin mahasiswa dapat mempertanggungjawabkan anggaran sebesar itu, sebagian yang lain mengangkat anggaran terhadap pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang malah lebih sedikit (1,4 M). Dalam pernyataannya, Gubernur Riau menjawab bahwa kongres ini juga penting sebagai pembelajaran penting terhadap generasi muda Indonesia dalam pentas nasional. "Kami melihat acara ini sebagai proses pembelajaran bagi pemuda Riau di tingkat nasional.”

Hari ini HMI sekali lagi ditantang rupanya, dapatkah organisasi kita mempertanggungjawabkan anggaran tersebut dan mampu berlaku akuntabel, transparan dan kreatif dalam melaporkan pengelolaan angaran tersebut pada publik secara luas dan rinci. Kenapa hal ini sangat sensitif? Mengingat bencana kabut dan pembantaian hutan yang sempat melanda Riau beberapa waktu lalu, jangan sampai imej HMI dicap sebagai rakus atau serakah menguras APBD secara berlebihan di tengah-tengah kesusahan Pemprov menangani bencana ekologis yang begitu krusial. Saya rasa penyelenggara Kongres punya cukup alasan untuk menjawab hal demikian, mengingat organisasi ini telah memiliki lebih dari ribuan komisariat, sekitar 200 cabang, dan 30 lebih badko yang tersebar di seantero Nusantara. Maka semakin besar eksistensi organisasi, semakin besar pula kebutuhan finansialnya.

Dalam statement Ketum PB HMI, Arief Rosyid, penyelenggara kongres siap untuk menanggung beban transportasi dari 1.500 peserta kongres di berbagai daerah. Maka katakanlah satu tiket seharga 1 juta, sehingga total biaya keseluruhan adalah 1,5 M hanya untuk mengongkos kedatangan peserta. Belum lagi biaya konsumsi selama 5 hari (22-26 November). Misalnya, kebutuhan konsumsi satu orang adalah 50 ribu per hari, ditotal dengan 1.500 peserta selama 5 hari, maka untuk konsumsi terhitung menghabiskan cost 375 juta rupiah. Dengan demikian, hanya untuk makan dan datang saja, sudah menguras lebih daripada 1.5 M.

Belum lagi dengan estimasi dana yang tidak terduga, kebutuhan logistik, acara, dan lain sebagainya. Bisa jadi malah, total biaya anggaran melebihi 3 M. Sebuah tantangan besar bagi Panasko (Panitia Nasional Kongres) untuk membuktikan bahwa sketsa acara Kongres dan besarnya kebutuhan anggara sudah proporsional dan terbukti valid dengan melampirkan laporan pertanggungjawaban secara komprehensif, mendetail dan menyeluruh pada publik dan masyarakat tentunya. Agar mutual trust dengan rakyat tidak pernah terputus, dan dukungan demi dukungan dari berbagai elemen bangsa tidak pupus sia-sia karena ketidakbecusan mengurus administrasi dan ketidakbijaksanaan memanfaatkan anggaran pemerintah yang notabene dihisap dari pajak rakyat. Dengan begitu, asumsi bila organisasi ini ekslusif dan elite namun berjarak dengan rakyat, dapat tertolak mentah-mentah.

Pada kesempatan nanti, Kongres sebagai perjamuan akbar segenap kader HMI, akan begitu ramai menuang euphoria dan ekspektasi. Namun jangan sampai kita berhenti dalam opini bahwa, Kongres hanya sekedar memfasilitasi kompetisi politik dalam memperebutkan tampuk kekuasaan. 
Siapa sih yang tidak mau jadi bos di organisasi sebesar ini? Tapi kita semua sebagai kader yang baik, pastilah selalu menghendaki pemimpin yang baik. Tiada pilihan lain selain figur ideal untuk memimpin organisasi yang besar. Aku yakin pemimpin itu tidak lahir dari ruang hampa, dia pasti muncul dalam arena pertarungan yang sehat dan tidak melupakan pentingnya gagasan, visi, hasrat perubahan yang tinggi, serta skill menangani dinamika dan aspek-aspek penting lain.

Aku yakin, kalian, yang tengah membaca teks ini sampai kata paling akhir, dimanapun kalian berada, etnis apapun kalian, budaya apapun yang kalian junjung, dan perbedaan lainnya di antara kita memendam satu persamaan yang kuat: bahwa kita diikat oleh sumpah sebagai kader HMI. Sehingga bukan tidak mungkin untuk menaruh optimisme dan siapa tahu doa kita semua sama untuk Kongres ke-29 ini. Setelah napak tilas yang begitu melelahkan, melewati dinamika-dinamika sejarah yang semakin usang membeku dalam kacamata waktu, semoga romantisme yang kita habiskan dengan bangsa dan umat tidak pernah tersendat dan tidak berakhir singkat. Aku mungkin bukan siapa-siapa di HMI, hanya kader biasa, tidak menempati struktur manapun, begitu kecilnya diriku di mata HMI, tapi begitu besar HMI di mataku, pikiranku dan hatiku. 
Begitu berarti HMI dalam membentukku sebagai pribadi yang berpikir bebas dan memiliki hati yang semoga tidak terbatas. Begitupun – harusnya – kalian, dan semoga dalam perbedaan kita, doa kita selalu sama.