Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Adakah Kebenaran Itu Pahit?


oleh: Tyo Mokoagow Mantan Ketua BTA Cabang Kotamobagu

Adakah kebenaran itu pahit? Merupakan sebuah pertanyaan penting bagi mereka yang bersikeras menggali realitas sedalam-dalamnya, senyata-nyatanya. Telah lama aku khawatirkan ini, setelah menyaksikan para pemikir terdahulu banyak yang menorehkan komentar. Seakan-akan mereka adalah para pengembara yang lebih dulu mengarungi perjalanannya, hingga pada ujung jalan terluar. Aku yang belum beberapa lama ini melepas langkah, kemudian berpas-pasan dengan mereka di pertengahan perjalanan, dan dengan bijak dan arif mereka menasehati “jangan buang-buang waktumu nak, kebenaran terlalu pahit untuk kau cerap”.

Tapi bagi yang memahami, tentu saja akan maklum. Betapa sia-sia menasehati dua tipikal orang: yang jatuh cinta dan yang tengah menghasrati kenyataan total seobjektif-objektifnya. Aku mungkin bisa kau kategorikan sebagai yang kedua. Betapa miskin hariku bila terlewati tanpa memahami satu hal yang baru. Tiap hari kurasakan getaran itu, gemetar-gemetar tanganku yang tidak bisa tenang karena goncangan hebat. Bukan perutku yang lapar, yang membuat aku selalu menderita dan gelisah termakan siksa. Tapi akal, akalku kelaparan hebat! Dia harus diberi makan. Maka tatkala nasehat demi nasehat kukumpul hingga menumpuk setinggi pasak gunung, semakin hebat hasratku berkobar hendak menyaksikan kebenaran pahit itu dengan pikiranku sendiri.

Aku akan terus melanjutkan langkahku yang sepi dan sendirian ini. Langkah seorang pengembara yang menyusuri telaga waktu, semacam lorong sempit yang dihimpit dunia-dunia palsu, orang-orang penipu diri sendiri, gemerlap dan benderang konsep yang matang dan tak tertangguhkan. Aku tetap menderap langkah, memacu kudaku hingga berlari melebihi batas yang dia pahami sejauh ini. Dengan harapan yang mungkin berbeda, aku ingin mengatakan pada diriku sendiri: biarlah mereka menyaksikan itu dengan mata mereka sendiri, maka apabila lewat mataku, pengetahuan tersebut semoga akan sedikit berbeda. Dengan begitu, aku berharap meski dalam keyakinan yang sangat kecil sekalipun: semoga kita menemukan kesimpulan yang berbeda.

Entah itu sebagaimana kaum Stoa yang pasrah dan rela menerima kebenaran bak seorang pemintal tertusuk jarum dan menerima luka sebagai rasa sakit yang tidak bisa dielakan. Ataukah aku akan bersikap sewajarnya Nietzche yang tidak getir namun juga tidak pasrah sebagaimana Stoisisme yang pasif atas haluan kebenaran, tapi menjadi pemakna setia hidup yang menggentarkan laksana ranting-ranting pohon gundul sehabis ditempa badai yang menjadikannya indah; sikap amor fati. Lalu akan kusiulkan lagu, dengan lirik yang kupetik dari lidahnya: “…oh, cintailah hidup meski takdir itu pahit. Semua yang berani menatap dan menyambut kematian kapanpun dan dimanapun adalah mereka yang telah siaga berani menjalani kehidupan secara total dalam perulangan kekal.”

Atau, mestikah aku menjalani kehidupan sebagaimana umat manusia hari ini? Mereka menciptakan ilusi, tenggelam dalam kepalsuan yang tragis dan menghibur diri sendiri di antara kebohongan-kebohongan yang terlanjur manis. Umat manusia dalam teknologi informasi ini, adalah mereka yang pada mulanya terkurung dalam goa di alegori Plato, yang lebih memilih menyaksikan dunia lewat bayangan daripada dunia itu sendiri; semacam hiper-realitas. Mestikah aku menjadi bagian mereka? Menjadi manusia yang nyaman disuapi dusta secara rutin, digiring menyaksikan fantasi abadi, dimanipulasi pikiran serta jiwanya lewat dogma simulacrum.

Entah yang mana yang harus kupilih, apabila itu membuatku menjadi orang yang seberani filsuf rajawali, ataukah kaum Stoik, atau menjadi manusia secara kebanyakan, atau menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda dan baru di atas semua tadi. Tapi yang jelas, keyakinan tersebut kuraih lewat pengamatanku sendiri, bukan lewat pengamatan orang lain.