Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ini Dia Pengetahuan Tentang Gerhana Matahari


BTAku - Pegiat Komunitas Langit Selatan, Avivah Yamani, menyambut gembira fenomena gerhana matahari total yang akan melintasi 12 provinsi di Indonesia pada tanggal 9 Maret mendatang. Bersama rekan-rekannya, perempuan yang aktif di lembaga Communicating Astronomy with The Publik, komisi di International Astronomical Union (IAU) ini menilai fenomena itu sebagai jalan masuk menjelaskan sains kepada masyarakat.

"Fenomena alam itu bisa dijelaskan secara ilmiah. Saya masih ingat dahulu saat ada kejadian gerhana disuruh masuk ke rumah. Sekarang kita bisa menjelaskan kepada masyarakat, kenapa fenomena ini terjadi," ujar lulusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini di Bandung, Rabu (27/1).

Gerhana matahari total ini bisa diamati di Indonesia pada pagi hari. Sesaat sebelum terjadi gerhana, cahaya akan meredup dan menjadi gelap perlahan-lahan. Kondisi ini terjadi saat Bulan melintas tepat di antara Bumi dan Matahari mengakibatkan bayangan bulan jatuh di permukaan Bumi.

Daerah yang berada di dalam bayangan Bulan akan mengalami gerhana dikarenakan ukuran Matahari dan Bulan di langit tampak sama besar. Ada kalanya seluruh permukaan Matahari tertutup oleh Bulan dan menghasilkan gerhana matahari total.

"Pagi jadi malam hari. Secara refleks, kita sebagai manusia akan cari tahu apakah awan atau apa yang mengakibatkan langit jadi gelap," ungkap Avivah.

Untuk menerangkan fenomena itu, Komunitas Langit Selatan akan memulainya dengan proses mengamati gerhana secara aman. "Tim kami akan datang mulai tanggal 5 Maret 2016 pagi," ujar Avivah.

Dalam waktu jeda itu, Komunitas Langit Selatan bakal memberikan pengetahuan kepada masyarakat soal teropong lubang jarum yang bisa dibuat dari karton dan kertas biasa. Alat ini yang nantinya menjadi media bantu bagi masyarakat untuk menyaksikan gerhana matahari dengan aman.

Informasi mengenai asal muasal gerhana bisa diterangkan secara langsung nantinya. Apalagi sebagian besar masyarakat di nusantara ini sudah punya warisan budaya soal gerhana. Buat mereka yang tinggal di Jawa dan Bali, gerhana dipercaya sebagai sesuatu yang buruk.

Gerhana terjadi karena Batara Kala yang menelan Dewi Ratih. Cerita serupa dengan karakter yang berbeda juga ada di Halmahera. Masyarakat di sana percaya gerhana terjadi karena setan atau suanggi melahap matahari. "Mungkin karena itu waktu kecil saat ada gerhana disuruh masuk ke dalam rumah," kata Avivah.

Reaksi itu, sambung dia, berlaku untuk masyarakat di berbagai wilayah. Malah, ada yang membuat bunyi-bunyian untuk mengusir sang pemakan matahari. Karena ada anggapan berbahaya itu, masyarakat juga tidak boleh menatap langsung ke matahari.

Dalam blog Komunitas Langit Selatan, dia juga menulis soal kegelapan yang diasosiasikan dengan hal buruk. "Cerita lain dari Sulawesi Selatan mengasosiasikan ketiadaan Matahari sebagai hukuman," imbuh Avivah.

Secara ilmiah, ungkap Avivah, menatap proses gerhana matahari total memang berbahaya karena dapat mengakibatkan kebutaan. "Makanya harus menggunakan media seperti lubang jarum atau kacamata yang sudah dilapisi," terang Avivah.

Namun, lanjut dia, saat proses gerhana matahari total sudah mencapai puncaknya, masyarakat bisa menikmatinya dengan mata telanjang.

"Berbagai hal ini, merupakan bagian dari proses belajar sains yang tidak hanya terkait dengan fenomena alam namun kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat," tambahnya. Sumber : Suara Pembaruan