Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Model - Model Metodologi Penafsiran Dalam Al-Qur'an


DIKCAPRO


MODEL – MODEL METODOLOGI PENAFSIRAN DALAM AL-QUR'AN

A. Metode penafsiran
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral dan menjadi Ispirator, serta menjadi pemandu gerakan-gerakan umat Islam lebih dari empat belas abad, pemahaman terhadap Al-Qur’an melalui penafsiran- penafsirannya akan sangat menentukan maju atau mundurny umat Islam, dalam arti sejauh mana pesan-pesan ilahi itu dapat di pahami dan di aplikasikan dalam kehidupan. Sehingga untuk memahami pesan-pesan ilahi diperlukan suatu metodologi penafsiran Al-Qur’an dikarenakan metodologi penafsiran Al-Qur’an bukanlah suatu hal yang dapat diabaikan begitu saja. 
Pembahasan mengenai penafsiran sangat diperlukan seperangkat ilmu yeng disebut metodologi tafsir.Metodologi tafsir merupakan ilmu tentang metode menafsirkan Al-Quran.Metode tafsir merupakan kaeda dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,  keberadaan metode tafsir merupakan hal yang urgen dalam penafsiran Al-Qur’an dan kwalitas setiap karya tafsir sangat tergantung pada metodologi yang di gunakan oleh para mufassir.Metode tafsir yang ada atau berkembangkan selama ini memiliki keistimewaan dan kelemahannya. Secara umum dikenal empat macam metode penafsiran dengan aneka macam hidangannya yaitu : metode tahlili ( analisis), ijmali (global), muqarin ( perbandingan), dan maudhui ( tematik).
1. Metode Al-Tahlili ( Deskriptif- Analisis)
Tahlili adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspek, metode ini juga berusaha menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an dengan mengikuti tertib urutan ayat-ayat dan surah-surah Al- Qur’an itu sendiri dengan melakukuan analisis di dalamnya. Metode ini bercorak kebahasaan, Metode ini memiliki beragam jenis hidangan yang ditekankan penafsirannya; ada yang bersifat kebahasaan, hukum, sosial budaya, filsafat, sains dan ilmu pengetahuan, tasawuf dan lain sebagainnya.Biasanya yang dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosa kata ayat, munasabah ayat dengan ayat sebelumnya, asbabun nuzul (jika ada) makna global ayat, hukum yang dapat di tarik, yang tdak jarang menghidangkan aneka ulama mazhab, ada juga yang menambahkan Qiraat, I’ rab ayat- ayat yang di tafsirkan. 
a. Adapun contoh metode tahlili adalah firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 219 
••
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (Q.S. Al-Baqarah : 219) 
Pada ayat ini sang mufassir Tahlili akan menjelaskan paling sedikit tiga persoalan pokok, yaitu khamar, judi, dan soal nafkah. Penjelasannya tidak tuntas karena ada ayat-ayat lain yang berbicara tentang persoalan yang sama dan nyaris tidak disinggungnya. firman Allah dalam QS. Al- Maidah (5): 90

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S Al-Maidah : 90) 
Dengan demikian sang mufassir dapat menghidangkan secara tuntas makna ayat yang di tefsirkannya secara berdiri sendiri, akan tetapi dia tidak menghidangkan secara keseluruhan uraian petunjuk Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yg dibahasnya. Uraiannya melebar sehingga tersedia hidangan yang bisa jadi sebagian di antaranya tidak diperlukan oleh pembaca.
b.   Contoh Kitab Tafsir Tahlili
1. Jami’ al-Bayan’ an Ta’wil Ayi al-Qur’an ( Himpunan Penjelasan Tentang Ta’wil Ayat- Ayat Al-Qur’an) 15 jilid dengan jumlah halaman sekitar 7125 karangan Ibn Jarir al-Thabari ( w. 310 H/ 922 M).
2. Al-Durr al- Mantsur fi al-Tafsir bi al- Ma’tsur ( Mutiara Kata Prosa dalam tafsir bi al-Ma’tsur) 18 jilid setebal 5600-6400. Sususnan Jalal al-Din al- Suyuti ( w. 849-911 H/ 1445-1505 M).
3. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an( Neraca dalam Menafsirkan Al-Qur’an ) 21 jilid dan tiap-tiap jilid terdiri atas 330-an hingga 450-an halaman, karya al-Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thabathaba’I ( w. 1321-1402H/ 1892-1981 M).
c.    Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Tahlili
Kelebihan tafsir tahlili antara lain adalah keluasan  dalam memahami Al-Qur’an. Dengan metode tahlili memahami Al-Qur’an di mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas. Cara memahami Al-Qur’an ruang lingkupnya luas, meliputi aspek kebahasaan, sejarah, hukum, sosial budaya, filsafat, tasawuf, sains dan lain-lain.sedangkan kekurangannya adalah tidak detail dan tidak tuntas dalam menyelesaikan topic-topik yang dibicarakan. Kajiannya tidak mendalam, memerlukan waktu yang cukup panjang, pembahasan yang melebar.
2. Metode Al-Ijmali ( Tasir Global)
Al-Ijmali artinya ringkasan, ikhtisar, dan global.Metode ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan yang bersifat umum (global). Pembahasan metode ijlami tidak perlu menyinggung Asbab an-Nuzul atau Munasabah, apalagi makna-makna kosa kata dari segi keindahan bahasa Al-Qur’an.  Langsung menjelaskan kandungan ayat secara umum atau menjelaskan hukum yang dapat ditarik, artinya hidangan yang disediakan sang mufassir siap untuk di santap. 
a. Contoh Kitab Tafsir Ijmali
1. Marah Labid Tafsir al-Nawawi/ al- Tafsir al-Munir li Ma’lam al-Tanzil ( Kegembiraan yang melekat/ Tafsir yang bercahaya sebagai petunjuk jalan menuju Al-Qur’an) dua jilid karangan al- Allamah al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani ( w. 1230- 1314 H/ 1813-1879 M). 
2. Al- Tafsir al-Farid li al- Qur’an al-Majid ( Tafsir yang tiada taranya untuk Al-Qur’an  yang agung) delapan jilid dengn jumlah lebih kurang 3377 halaman, hasil usaha Dr. Muhammad ‘Abd al-Mun’im.
b. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ijmali
Adapun kelebihan dari metode ijmali ini adalah penafsiran pesan-pesan Al-Qur’an mudah dipahami dan di tangkap. tidak memerlukan waktu yang panjang dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an serta penjesannya Global. Sedangkan kekurangannya adalah tidak luas penjelasannya, sehingga wawasan terlalu sempit dan dan tampak sederhana.
3. Metode Al-Muqorrin ( Perbandingan)
Metode muqorrin yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan, perbandigan ini dalam tiga bentuk: perbandingan antara ayat dan ayat, perbandigan ayat Al-Qur’an dan hadis, serta perbandingan penafsiran antara mufassir.  Metode ini membahas tentang redaksi ayat yang sama akan tetapi membicarakan topik yang berbeda, atau sebaliknya topik yang sama dengan redaksi yang berbeda. 
a. Adapun contoh penafsiran metode ini firman Allah pada QS. Al-An’am (6) 151, dan QS.Al-Isra (17) 31.
••
Artinya : Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[518]." Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).(QS.Al-An’am (6) 151).  

•
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. QS. Al-Isra (17) 31)

 Kedua ayat di atas menggunakan ayat yang berbeda akan tetapi mengunggkapkan makna yang sama yaitu kedua ayat ini sama-sama melarang khususnya membunuh anak-anak. Ayat pertama di tujukan kepada orang-orang miskin dan fuqaha sedangkan ayat yang kedua di tujukan kepada orang-orang kaya.
Pemahaman perbedaan sasaran yang ditujuh dapat dipahami dari sedikit perbedaan redaksi pada kedua ayat di atas.Dalam QS.Al-An’am (6) 151, menggunakan redaksi من املق نحن نرزقكم واياهم  mengisyaratkan bahwa orang miskin yang tengah mengalami kelaparan ( kekurangan ekonomi) dilarang membunuh anak-anaknya, karena Allah yang menjamin akan memberikan rizki kepadamu (orang tua)  dan Allah juga akan memberi rizki kepada  anak-anakmu.Sedangkan pada QS.Al-Isra (17) 31.menggunakan redaksi خشية املق نحن نرزقكم واياكم di tujukan kepada orang kaya yang takut kelaparan, mengisyaratkan kelaparan itu sendiri belum terjadi. Hanya saja mereka khwatir akan kehadiran anak-anaknya akan membuat orang tuanya menjadi miskin di karenakan anak-anak mereka memakan harta mereka. Padahal Allah yang menjamin akan memberikan rizki kepada anak-anak mereka bahkan orang tuanya juga.
b. Memnbandingkan ayat Al-Qur’an dengan matan al-hadis yang terkesan bertentangan padahal tidak. Di antara contohnya ialah dalam al-Qur’an surah al-Ma’idah (5) ayat 67 Allah Swt berfirman: 
•••

Artinya : Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 67) 

Lahirlah cuplikan ayat ( والله يعصمك من النا س) mengisyaratkan bahw Allah Swt akan selalu melindungi atau memelihara keselamatan diri dan jiwa Nabi Muhamad Saw. Dari kemungkinan pelukaan dan pembunuhan yng dilakukan musu-musu Nabi. Namun dibalik itu, ujar al-Zarkasyi, ada riwayat sahi yang menginformasikan bahwa sewaktu terjadi peperangan Uhud (3 H/ 625 M), Nabi sempat dilukai (kena lika) oleh musuh yang memeranginya yaitu ptah giginya.Jika demikian halnya, maka bagaimana dengan pernyataan ayat di atas yang menyatakan bahwa Allah hendak menjamin keselamatan jiwa dan raga Nabi Muhamad?
c. Membandingkn antara penafsir ulama/ aliran tafsir yang satu dengan penafsiran ulama / aliran tafsir yang lain, seperti antara penafsiran ulama salaf dengan khalaf, antara Sunni dengan Syi’I, antara Ahli Sunnah dengan MU’tazilah dan lain sebagainya.
Sebagai ilustrasi, patut dikemukakan perbedaan antara kaum MU’tazilah dengan kaum Ahli Sunnah dalam menafsirkan ayat-ayat yang bertalian dengan masalah syafa’at, suatu persoalan yang oleh al-Maraghi di nilai sebagai salah satu Problema yang telah melibatkan banyak orang (pihak) untuk memperdebatkannya dalam waktu yang cukup lama. Dan itupun hingga kini belum selesai. 
Seperti dimaklumi, dalam al-Qur’an terhadap beberapa ayat yang membicarakan soal syafa’at.Sebagai dari padanya ada ayat yang mengisyaratkan keberadaan Syafa’at. Seperti ayat 105 surat Hud (11) dan ayat 254 surat al-Anbiya’ (21); namun sebagian yang lain ada pula ayat-ayat yang menafikan keberadaan Syafa’at seperti ayat 48 dan 54 surat al-Baqarah (2); menurut penjelasan yang diberikan Thanthawi Jawhari dalam kitab tafsirnya al-Jawabir fi al-Tafsir al-Qur’an al-Karim, semua umat islam – termasuk kaum Mu’tazilah dan Ahli Sunnah telah seia sekata (sepakat) bahwa kelak di alam akhirat Nabi Muhamad SAW akan memberikan Syafa’at kepada umatnya. Di samping itu mereka juga sependirian bahwa Syafa’at itu tidak akan berlaku bagi orang-orang kafir. Tapi di balik itu mereka berselisih pendapat tentang maksud dari pemberian Syafa’at itu sendiri jika di hubungkn dengan orang-orang Islam yang melakukan dosa besar
d. Contoh-contoh kitab tafsir Muqorrin
Agak berbeda dengan metode-metode tafsir yang lain yang memiliki banyak contoh, kitab tafsir yang secara spesifik ini relatif langka.
1. Durrat al-Tanzl wa Qurrata al-Ta’wil ( Mutiara al-Tanzil dan kesejukan al-Ta’wil), karya al-Khatib al-Iskafi ( w. 420 H/ 1029 M)
2. Al- Burhan fi Tawjih Mutasyabih  al-Qur’an ( Bukti kebenaran dalam pengarahan ayat-ayat Mutasyabihat al-Qur’an), karangan Taj al- Qaraa’ al-Kirmani ( w. 505 H/ 1111 M).
e. Kelebihan dan kekurangan
Tafsir al- muqorrin memiliki beberapa kelebihan diantaranya: lebih bersifat objektif, kritis dan berwawasan luas sedangkan kekurangannya adalah tidak bisa menafsirkan seluruh ayat Al-Qur’an.
4. Tafsir Maudhu’I ( Tematik)
Metode ini adalah suatu metode mengarahkan pandangan kepada suatu tema tertentu, kemudian mencari pandangan Al-Qur’an terntang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahami ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum di kaitkan dengan yang khususu, yang mutlaq digandengkan dengan muqayyad, sambil memperkaya uraian dengn hadist-hadist yang berkaitan untuk di simpulkan dlam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang di bahas itu.  
a. Contoh penafsiran metode maud’I : terdapat pada QS. An-Nahl ayat 67, Al-Baqarah ayat 219, An-Nisa ayat 43, Al –Maidah ayat 90-91.
•••
Artinya : Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (QS. An-Nahl : 67) 

••
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (QS.Al-Baqarah : 219)  

•••

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS.An-Nisa ayat 43) 


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah : 90) 


Artinya : Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al-Maidah 91) 
Pada tahun 1997, Prof. Dr. Abdul Hayy Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buka Al-Bidayah fi At-Tafsir AL-Maudhu’i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’iy. Langkah-langkah tersebut adalah : 
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya;
d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
e. Menyusun pembahasan dalam rangka yang sempurna (outline);
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqqayad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan. 
b. Contoh-contoh kitab tafsir Maudhu’I 
1. At-Tabiyan fi Aksam al-Qur’an (penjelasan tentang sumpah dalam Al-Qur’an), karangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah (691-751 H/1921-1350 M).
2. Al-Riba fi al-Qur’an (Riba dalam al-Qur’an), karya Abu al-A’ala al Maudhui.
c. kelebihan dan kelemahan 
Akan halnya metode-metode tafsir yang lain, metode tafsir al-Maudhu’i juga mempunyai beberapa kelebihan. Yang terpenting ialah bahwa metode ini penafsirannya bersifat luas, mendalam tuntas dan sekaligus dinamis. Adapun kelemahannya antara lain sama dengan tafsir al-muqaran yakni tidak dapat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan dengan metode tahlili dan ijmali.





Metode penafsiran dalam skema


















B. Sumber Penafsiran

1. Tafsir Bi al-Mat’sur

Tafsir bil Ma’sur ialah tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dengan Sunah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahiu Kitabullah atau dengan apa yang di katakan tokoh tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.  
a. Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an 

Artinya : Tunjukilah Kami jalan yang lurus.(QS. Al- Fatihah : 7)  
Kemudian di tafsirkan ayat 7

Artinya : (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS. Al- Fatihah : 8) 
b. Penafsiran Al-Qur’an dengan hadis nabi 

Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Rasul SAW menafsirkan bahwa kata zhulum artinya penganiayaan di sini adalah kemusrikan sejalan dengan firman Allah 

Artinya : Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS Luqman ; 13) 
c. Penafsiran ayat dengan keterangan  sahabat nabi
Misalnya pemahaman sahabat nabi sayidina Umar dan Ibnu Abbas ra. Tentang makna surah An-Nasr
••
Artinya :  Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,Dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.(QS. An- Nasr: 1-3)  
Bahwa surah itu  adalah isarat tentang telah mendekatnya ajal Nabi SAW. 
d. Penafsiran al-qur’an denan perkatan tabiin
Fase sahabat dianggap berakhir dengan meninggalnya tokoh-tokoh sahabat yang dulu menjadi guru dari para Tabi’in dan digantikan dengan tafsir tabi’in. Para tabi’in selalu mengikuti jejak guru-gurunya yang masyhur dalam penafsiran Al-Qur’an. Terutama mengenai ayat-ayat yang musykil pengertiannya bagi orang-orang awam.
Penafsiran Rasulullah saw, dan para sahabat sebagaimana kita ketahui tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an dan hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang-orang yang semasa dengannya. Hal ini telah menyebabkan munculnya problem baru, yakni bertambahnya persoalan-persoalan yang sulit dipahami oleh orang-orang sesudah masa sahabat karena rentang waktu dan tempat yang semakin panjang. Oleh karena itu, para tabi’in yang menekuni  bidang tafsir merasa perlu  menyempurnakan kekurangan-kekurangan ini. Karena mereka menambahkan kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menutupi kekurangan tersebut. Mereka berusaha menyempurnakan tafsir Al-Qur’an secara terus-menerus berlandaskan pada pengetahuan bahasa Arab, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an, yang mereka pandang valid dari guru-guru mereka serta berdasarkan pada pemahaman serta sarana pengkajian lainnya.
e. Contoh – contoh kitab tafsir bil al – Ma’tsur 
Ada beberapa contoh kitab tafsir bi al-ma’tsur  yang terpenting diantaranya:
(1). Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an (Himpunan Pnejelasan Tentang Ta’wil Ayat-ayat Al-Qur’an), 15 jilid dengan jumlah halaman sekitar 7125, karangan Ibn Jarir al-Thabari (224-310 H/846-922 M).
(2). Tafsir al-Qur’an al-Azim (Tafsir al-Qur’an yang Agung), 4 jilid dengan sekitar 2414 halaman(termasuk 58 halaman sisipan ilmu tafsir pada jilid terakahir), karya Al-Hafizh Imad al-Din Abi al-Fida’ Isma’il bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi (w.774 H/1343 M).

2. Tafsir bil ra’yi
Tafsir bil ra’yi ialah tafsir yang di dalamnya menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri dan penyipulan intinbat yang di dasarkan pada ra’yu semata. Tidak termasuk kategori ini pemahaman terhadap Al-Qur’an yang sesuai dengan roh syariat dan di dasarkan pada nas-nasnya. Ra’yu semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap Kitabullah. Dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah penganut mazhab bathil. Mereka mempergunakan Qur’an untuk di ta’wilkan menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijikan berupa pendapat atau penafsirkan ulama salaf, sahabat dan tabiin. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut pokok-pokok majhab mereka seperti tafsir abdurrahman bin khaisan al-Azam al-Juba’i, Abdul Jabbar, ar-Rummani, Zamakhari  dan lain sebagainya.  
a. Contoh penafsiran tafsir bi al-Ra’yi
Contoh tafsir mahmud ialah menafsirkan kata dzarrah ( ذرة) dalam surat Al-zalzalah (99): 7 dan 8, dengan benda-benda terkecil misalnya atom, newton dan energi yang oleh ulama-ulama klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, semut gatal dan lain-lain.  

Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.(QS.Al-zalzalah (99): 7- 8 ) 
b. Conto-contoh kitab yafsir bil al-ra’yi 
Beberapa contoh kitab tafsir bi al-ra’yi yang sangat besar manfaatnya bagi perkembangan tafsir ilmu tafsir, diantara ialah :
1). Mafatih al-Ghaib (kunci-kunci keghaiban) juga umum disebut dengan al-Tafsir al-Kabir karangan Muhammad al-Razi Fakhr al-Din (544-604 H/1149-1207 M), sebanyak 17 jilid sekitar 32000-36200 halaman tidak termasuk indeks.
2). Ruhal-Ma’ani (Jiwa-jiwa Makna al-Qur’an), dengan muallif (pengarang) al-Allamah Syihab al-Din al-Alusi (w. 1270 H/ 1853 M). 
3. Tafsir isyari
Tafsir bi al-Isyarah adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan isyarat-isyarat batin yang terpancar dari para sufi, pengikut tarekat atau orang yang bersih hatinya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan tafsir ini. Sebagian membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Kelompok yang membolehkan :
a). Makna batinnya tidak bertentangan dengan makna zahir Al-Qur’an.
b). Penafsirannya tidak mengklaim bahwa hanya penafsiran baitinnya yang paling benar, tanpa mempertimbangkan makna tersurat. 
c). Penafsirannya tidak jauh melenceng dari makna dasarnya.
d). Hasil penafsirannya tidak bertentangan dengan hukum Syar’i maupun akal. 
e). Hasil penafsirannya didukung dengan dalil-dalil syar’i lainnya.
Sementara kelompok yang mengharamkan tafsir isyari mengungkapkan bahwa tafsir ini hanya berdasarkan asumsi –asumsi yang sangat subjektif sehingga hasil penafsirannya jauh dari kebenaran dan pada titik tertentu barakibat pada subjektivitas atau bahkan relativitas makan Al-Qur’an.Karena itu, Az-Zarkasyi misalnya mengatakan bahwa pendapat para sufi terkait dengan ayat-ayat Al-Qur’an bukanlah tafsir atasnya, tapi ia adalah makna, rasa dan kesan yang mereka peroleh ketika membaca dan berinterkasi secara intens dengan Al-Qur’an.
a. Contoh penafsiran tafsir bi Isyari
Tafsir al-Isyari harus ditolak (mardud) ialah tafsir yang menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-isyari  di atas. Di antara contohnya ialah penafsiran aliran al-bathimmiyah yang menafsirkan kata baqaratun (بقر ة) dengan nafsu binatang dalam ayat :(al-Baqara (2): 67).
•
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (Al-Baqara (2): 67). 
Para pengikut al-bathniyyah ada yang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran demikian: ” Perintah menyembelih sapi pada ayat diatas memberikan isyarat bahwa manusia yang diperintahkan supaya menyembelih (membunuh) nafsu binatang (an-nafs al-bahimah), karena membunuh nafsu binatang yang ada pada diri manusia berarti menghidupkan hati bersifat rohani. Dan itu merupakan jihad terbesar (al-Jihad al-akbar) yang berarti sama dengan matilah kamu sebelum kamu mati. Orang-orang bathiniyyah menggubah sajak demikian Bunuhlah aku hai kepercayaanku! Karena, sesungguhnya dalam kematianku terdapat kehidupanku;Kehidupanku terletak dalam kematianku, dan kematianku terwujud dalam kehidupanku. 
b. Contoh-contoh kitab yafsir bil isyari 
1). Gharib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, (Kata-kata Asing al-Qur’an dan al-Furqan yang Menarik) karangan al-Na-isaburi (w. 728 H/1328 M).
2).‘Ara’is al Bayan fi Haqaiq al-Qur’an (Jempana Keterangan dalam Hakikat al-Qur’an), susunan Muhammad al-Syairazi,
3). Tafsir wa Isyarat al-Qur’an (Tafsir dan Isyarat al-Qur’an), buah pena Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi (w. 560-638 H/ 1165-1240 M).
C. CORAK PENAFSIRAN
1. Corak Kebahasaan
Sebagaimana telah diuraikan di muka, ketika teks Al-Qur’an diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia sesungguhnya telah transformasi dari sebuah teks ilahi (nash ilahi) menjadi sebuah konsep (mafhum) atau teks manusiawi (nash insani). Sebab, secara langsung berubah dari wahyu (tanzil) menjadi interpretasi (ta’wil). Dari sini makna-manka yang dikonsepkan harus dilihat dari konteks bahasa di mana bahasa tersebut dipakai, yaitu Arab. Dalam konteks ini, analisis bahasa menjadi signifikan.
Setiap kata dalam ayat Al-Qur’an oleh buku tafsir ini dianalisis daris segi kebahasaaan : diuraikan asal-usul katanya, perubahannya, keragaman maknanya, serta bangunan semnatiknya dengan kata-kata yang lain. Contohnya, ketika Qiraish menguraikan ayat 1 Surat Al-Fatihah. Seluruh rangkaian kata diuraikan secara detail.  Di mulai dari bi ( ب) yang diterjemahkan dengan kata “dengan”, menurutnya menyimpan suatu kata yang tidak tercupakan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmalha, yaitu kata “memulai”. Sehingga bismillah berarti “saya atau kami memulai dengan nama Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaan atas nana Allah
Setelah itu, ia menguraikan kata ism (اسم) yang menurutnya terambil dari kata al-sumuww (اسمو) yang berarti “tinggi” atau al-simmah (اسما) yang berarti “tanda”. Nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus dijunjung tinggi. Kata ini bisa diterjemahkan dengan “nama”. Namun disebut ism, karena ia seharusnya dijunjung tinggi atau karena ia menjadi tanda bagi sesuatu. Ada yang bberpendapat bahwa nama adalah hakikat sesuatu yang dinamai itu. Jadi, kalau disini dikatakan “dengan nama Allah”, maka itu berarti “dengan Allah”.
2. Corak Sosial Kemasyarakatan
Muhammad ‘Abduh pernah mengatakan bahwa pada hari kahir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para maufasir, dan tentang bagaimana mereka memahami Al-Qur’an. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang ia wahtukan untuk membimbing dan mengatur manusia.Terhadap pernytaan Abduh ini, J.J.G. Jansen menyimpulkan bahwa ‘Abduh ingin menjelaskan Al-Qur’an kepada masyarakat luas dengan maknya yang prkatis, bukan hanya untuk ulama profesional.’Abduh menginginkan pembacanya, masyarakat awam maupun ulama, menyadari relevansi terbatas yang dimilki tafsir-tafsir tardisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Ia ingin menyakinkan pada para ulama bahwa mereka seharusnya membiarkan Al-Qur’an berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.
Nuansa sosial kemasyrakatan yang di maksud di sini adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur’an dari : (1) segi ketelitian redaksinya, (2) kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan Al-Qur’an, aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Al-Qur’an, dan (3) penafasiran yang dikaitkan dengan sunatullah yang berlaku dalam masayarakat.
3. Corak Fiqhi
Tafsir fiqhi yang kemudian lebih populer dengan sebutan tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam saja ialah tafsir yang lebih beroreintasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an (ayat al-ahkam). Berlainan dengan tafsir-tafsir yang lain semisal tafsir ilmi dan tafsir falsafi yang eksistensi dan pengembangannya diperbedabatkan pakar-pakat tafsir, keberedaan tafsir ahkam dapat dikatakan diterima oleh seluruh lapisan mufassirin. 
Tafsir ahkam memliki usia yang sangat tua karena lahir bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Qur’an pada umumnya. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu deretan daftar nama kitab-kitab tafsir ahkam baik dalam bentuk tafsir tahili, maupun maudhu’i.Di antara kitab-kitab tafsir ayat ahkam ialah : 
1. Ahkam Al-Qur’an al-Jashshash , disusun oleh al-Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr Ahamd bin Ali al-Razi al-Jashshash (305-370 H/ 917-980 M), salah seoarang ahli fiqih dari kalangan Madzahb Hanafi.
2. Ahkam Al-Qur’an Ibn al-Arabi, merupakan karya monumental Abi Bakr Muhammad bin Abdillah, yang lazim populer dengan sebutan Ibn al-Arabi (468-543 H/ 1075-1148 M).
4. Corak sufistik
Dalam tardisi ilmu tafsir Al-Qur’an kalsik, tafsir yang bernuansa sufistik sring didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk-nya. Tafsir yang menggunkan corak pembcaan jenis ini ada dua macam: (1) yang disadasarkan pada tasawuf nazhari (teoretis) yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang pengertian dari bahasa, (2) didasarkan pada tasawuf ‘amali (prkatis), yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluk-nya. 
Mencontoh penafsiran tafsir sufi dalam QS Al-Qalam (68): 42) 

Artinya: Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; Maka mereka tidak kuasa,
Kata saq dalam ayat ini bila diterjemahkan sebagai betis, kita kebingungan. Apa yang dimaksud dengan betis ? Mengapa Tuhan menyingkapkan betis-Nya? Jelas, jika menerima makan ini, kita harus percaya bahwa Tuhan punya betis dan Dia menyingkapkan beris-Nya untuk memanggil manusia agar bersujud. Kepercayaan seperti ini jelas bertentangan dengan akidah Islam yang menyatakan bahwa tidak ada yang menyerupai Tuhan satupun. Jika tidak mau menerima adanya betis Tuhan, kita pun menolak ayat Al-Qur’an.
Untuk mengatasi problem semacam ini, Jalal lalu memberikan makna lain pada kata saq dalam pengertian kesulitan atau situasi krisis yang membuat orang panik seperti dalam kalimat: “
قا مت الححرب بنا على سا ق 
peperangan telah mencapai tingkat yang kritis”. Berdasarkan makna terkahir ini, betis disingkapkan berarti suasana Hari Kiamat yang dipenuhi kesulitan dan ketakutan yang membuat orang panik. Dengan cara inilah menurutnya, justru keraguan dapat dihilangkan.