Budaya Yang Melekat Di Masyarakat Gorontalo Hingga Saat Ini
Kearifan Lokal
DI SUSUN OLEH :
SUPARMAN SOLEMAN
MANADO
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Tradisi Tumbilotohe
Di Gorontalo
Tumbilotohe
berasal dari kata tumbiloyang berarti pasang dan tohe berarti
lampu. Maka tumbilotohe berarti acara pasang lampu.
Lampu-lampu minyak biasanya dipasang di atas sebuah kerangka kayu yang
berhiaskan janur kuning. Buah pisang yang melambangkan kesejahteraan dan tebu
sebagai lambang kemuliaan turut dipasang pada kerangka tersebut. Tradisi tumbilotohe
ini merupakan tradisi tahunan dan juga tanda sebagai hampir berakhirnya
bulan ramadhan. Tradisi ini biasa dilaksanakan pada malam ke-27 bulan suci
ramadhan atau 3 malam terakhir menjelang Hari Raya Idul FItri. Pemasangan lampu
yang dimulai dari maghrib hingga menjelang subuh ini konon sudah berlangsung
sejak abad XV, dan digunakan untuk menerangi jalan menuju mesjid. Pada abad ini
diyakini penerangan dari daerah Gorontalo masih sangatlah kurang.
Pada masa itu lampu penerangan masih terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar. Alat penerangan ini di sebut wango–wango. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohetutu atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, dan disebut padamala.
Seiring dengan perkembangan zaman, bahan dan alat yang digunakan untuk merayakan tradisi tumbilotohe telah diganti dengan botol kecil dan diisi dengan minyak tanah, lalu memakai sumbu kompor. Lampu botol seperti ini terus dipakai sampai sekarang ini. Lalu mengalami perkembangan lagi, bahkan perayaan tumbilotohe selain diramaikan dengan lampu-lampu botol, tetapi juga rakyat sudah mulai menggunakan lampu listrik dengan aneka warna untuk lebih menyemarakkan tradisi ini.
“Tumbilotohe,
pateya tohe… ta mohile jakati bubohe lo popatii…”. yang
memiliki arti “Tumbilotohe, matikan lampu… orang minta zakat dipukul dengan
pacul…”. Kalimat pantun ini mungkin terdengar
kasar, tetapi pantun ini hanyalah pantun yang biasa di lantunkan oleh anak-anak
pada saat tradisi pemasangan lampu dimulai. Budaya turun temurun ini menjadi
ajang hiburan masyarakat Gorontalo.
BAB II
TEMUAN DAN ANALISA
DATA
2.1. Perayaan Tradisi Tumbilotohe
Tradisi tumbilotohe adalah tradisi yang sudah membudaya di daerah
Gorontalo, setiap tahun di akhir bulan Ramadhan stiap malamnya selalu
dirayakan. Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadhan di Gorontalo, sangat diyakini kental dengan nilai agama. Dalam
setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela menyalakan lampu dan
menyediakan minyak tanah sendiri tanpa subsidi dari pemerintah. Hal ini
merupakan sesuatu yang patut dibanggakan dari masyarakat Gorontalo.
Namun, seringkali juga perayaan tradisi ini mengalami saat-saat dimana
perayaannya tidak begitu ramai akan lampu-lampu yang menghiasi dibandingkan
dengan perayaan tumbilotohe ditahun-tahun sebelumnya yang dilaksanakan
di daerah Gorontalo. Hal ini sangatlah disayangkan dan perlu untuk mendapat
perhatian lebih dari pemerintah daerah Gorontalo.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinyaperayaan tumbilotohe tidak begitu ramai mungkin disebabkan oleh kenaikan harga minyak tanah yang menjadi salah satu bahan dari lampu botol yang menjadi ciri khas dari tradisi tumbilotohe itu sendiri. Dengan keterbatasan masyarakat akan minyak tanah tersebut, membuat pemasangan lampu-lampu botol yang ada di tiap daerah menjadi berkurang. Tetapi, ada segelintir masyarakat yang tetap merayakan dan memasang lampu botol tersebut. Hal ini merupakan antusias masyarakat Gorontalo untuk tetap melestarikan tradisi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Antusiasme masyarakat inilah yang menjadikan tradisi ini tetap terjaga dan selalu ada di daerah Gorontalo.
Dengan demikian tradisi tumbilotohe yang telah membudaya di masyarakat Gorontalo telah menjadi kekayaan budaya yang juga memiliki daya tarik sebagai wisata di Gorontalo.
2.2.
Suasana Tradisi Tumbilotohe
Tumbilotohe merupakan acara tahunan di daerah Gorontalo yang paling meriah, tradisi ini
selalu menjadi acara yang selalu di tunggu oleh masyarkat Gorontalo. Tradisi
ini bisa dibilang merupakan festival yang paling ramai di Gorontalo. Jika malam
tumbilotohe telah dimulai, banyak masyarakat yang keluar dan menikmati
pemandangan lampu botol di desa maupun daerah kota Gorontalo. Malam tumbilotohe
benar-benar ramai, apalagi jika ada perlombaan antar desa atau kecamatan,
desa atau kecamatan-kecamatan tersebut berbondong-bondong memasang lampu botol
dengan semeriah mungkin.
Tanah lapang yang luas dan daerah
persawahan di buat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab
suci Alquran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Kreasi-kreasi
masyarakat setempat diukir dengan bambu dan digantungkan lampu botol, sehingga
pada saat lampu botol dinyalakan, akan terlihat lampu botol tersebut terukir
kaligrafi ataupun tulisan ucapan, biasanya tulisan ucapan yang terlihat adalah
ucapan selamat hari raya Idul Fitri. Tumbilotohe tidak hanya terbatas
pada tanah, tetapi ada juga yang memasang lampu botolnya di daerah sungai,
sehingga sepanjang sungai akan terlihat indah dan terang.
Saat tradisi tumbilotohe di gelar, wilayah Gorontalo jadi terang
benderang, nyaris tak ada sudut kota yang gelap. Gemerlap lentera tradisi
tumbilo tohe yang digantung pada kerangka-kerangka kayu yang dihiasi dengan
janur kuning atau dikenal dengan nama alikusu (hiasan yang terbuat
dari daun kelapa muda) menghiasi kota Gorontalo. Di atas kerangka di gantung sejumlah pisang sebagai lambang
kesejahteraan dan tebu sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut
Hari Raya Idul Fitri.
2.3. Keunikan Tradisi Tumbilotohe
Pada saat perayaan tradisi tumbilotohe, ada
banyak hal lainnya yang meramaikan perayaan tradisi ini. Hal-hal ini yang
menambahkan keunikan dari tumbilotohe ini. Yang pertama yaitu, saat
dimana anak-anak sampai segelintir orang tua membunyikan bunggo atau
biasa dikenal dengan sebutan meriam tradisional. Meriam tradisional ini
dahulunya hingga sekarang sering digunakan untuk membangunkan sahur di saat
bulan Ramadhan, tetapi pada saat tradisi tumbilotohe berlangsung, meriam
tradisional ini menjadi ajang perlombaan bagi yang memiliki suara meriam
terkeras. Bunggo ini merupakan meriam bambu yang diisi minyak tanah, dan
memilik lubang kecil di atas bambu tersebut untuk menyulut lalu menghasilkan
bunyi seperti meriam.
Yang kedua adalah festival bedug, dimana setiap mesjid atau tempat-tempat tertentu menyiapkan bedug dan memukul bedug tersebut sedemikian rupa hingga mengahsilkan bunyi yang indah didengar.
Yang ketiga adalah penataan lampu-lampu botol di
lahan yang luas, lampu-lampu botol dihias dan ditata seindah mungkin dan
membuat tulisan dari bambu dan digantungkan lampu botol sehingga lahan tersebut
terlihat indah. Jika ada foto udara, daerah Gorontalo akan terlhat terang
bercahaya dari atas.
2.4. Respon Warga Indonesia Terhadap Tradisi Tumbilotohe
Tumbilotohe merupakan salah satu kekayaan budaya
di Gorontalo yang pantas dikembangkan. Oleh karena itu, tradisi tumbilotohe
terus dilestarikan oleh warga
Gorontalo hingga saat ini. Banyak potensi
yang dimiliki tumbilotohe, salah
satunya bisa menyedot kunjungan wisata ke daerah Gorontalo, karena tradisi
tumbilotohe tidak dijumpai di daerah manapun di wilayah NKRI. Walaupun
daerah-daerah tetangga Provinsi Gorontalo pun
turut melaksanakannya seperti daerah bagian utara (Bolmut) yang dikenal dengan
nama Maninjulo
Lambu dan selatan (Bolsel) yang dikenal
dengan nama Sumpilo
Soga, tapi semaraknya tidak merata seperti yang ada di provinsi Gorontalo.
Tradisi unik
ini menimbulkan daya tarik tersendiri yang mengundang orang-orang dari daerah
lain datang berkunjung untuk menyaksikan langsung acara tambilotohe tersebut.
Rata-rata masyarakat yang datang berkunjung berasal dari kota tetangga seperti
Manado, Palu, dan Makassar.
Perayaan tumbilotohe ini masuk Museum
Rekor Indonesia (MURI), karena sebanyak 5.000.000 (lima juta) lampu
menyemarakkan perayaan tradisi tumbilotohe tersebut. Tradisi ini pula
mendapat respon dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisara Republik Indondesia
(Kemenbudpar RI). Kemenbudpar memberikan dukungan penuh terhadap even religius
ini menjadi agenda pariwisata dunia di Gorontalo menjelang Lebaran Idul Fitri, bahkan menjamin akan lebih
mempopulerkannya ke seluruh dunia, agar Gorontalo menjadi pusat perhatian para wisatawan dunia.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1.
Simpulan
1. Tumbilotohe adalah
tradisi masyarakat Gorontalo yang sudah berlangsung sejak abad ke-15 Masehi.
Dahulunya, tambilotohe ini dimaksudkan untuk memudahkan umat Islam yang ingin
memberikan zakat fitrah di malam hari dan juga untuk menerangi jalan untuk
menuju mesjid. Saat itu, penerangan terbuat dari damar dan getah pohon yang
bisa menyala dalam waktu lama. Namun, dalam perjalanannya penerangan ini
diganti dengan minyak kelapa (padalama) dan kemudian minyak tanah. Di
zaman modern, warga mulai beralih menggunakan lampu listrik berkelap-kelip
dengan berbagai warna. Namun, ada juga yang masih bertahan untuk menggunakan
lampu minyak.
2.
Tumbilotohe sebagai wisata religi dan
juga merupakan tradisi yang telah membudaya di daerah Gorontalo ini sangatlah
memiliki nilai religius. Tradisi ini setiap malmanya ramai, dan memiliki
beberapa keunikan seperti membunyikan meriam tradisional atau yang disebut
bunggo di daerah Gorontalo. Meriam ini biasa dimainkan oleh anak-anak muda
sampai orang dewasa dan saling balas serta saling adu kerasnya bunyi meriam.
Menjelang sahur, mereka mengarahkan bunggo tersebut ke arah perkampungan untuk
membangunkan warga yang masi terlelap tidur unuk makan sahur. Dengan demikian
masyarakat dapat merasakan nuansa religus dan solidaritas dalam tradisi ini.
3.
Suasana perayaan tumbilotohe
tiap tahunnya diramaikan dengan lampu-lampu botol yang dihias
sedemikian rupa dan membentuk tulisan atau kaligrafi. Suasana daerah Gorontalo
ini membuat Gorontalo menjadi terang bercahaya, hampir tidak ada sudut yang
gelap tidak memasang lampu botol. Saat harga minyak tanah naik, perayaan malam tumbilotohe
sempat mengalami tidak terjadinya keramaian akan adanya lampu botol, tetapi
tetap saja ada yang memasang lampu botol ini, hal ini karena tumbilotohe
merupakan tradisi yang sudah melekat dan membudaya di daerah Gorontalo.
3.2. Saran
1.
Diharapkan agar tradisi tumbilotohe
akan selalu diramaikan dengan lampu-lampu botol sebagaimana yang tiap
tahunnya dilaksanakan agar dapat dijadikan wisata yang menarik bagi para
pengunjung.
2.
Menanamkan rasa antusias
bahwa tradisi ini harus dilestarikan di daerah Gorontalo karena tradisi seperti
ini tidak dijumpai di daerah-daerah lain selain Provinsi Gorontalo.
3. Agar tidak menjadi beban
dan kesusahan dalam menydiakan bahan lampu botol, alngkah baiknya bila
bahan-bahan yang digunakan adalah bahan saat zaman dahulu.
4.
Pemerintah ikut turut
membantu masyarakat dalam menyemarakkan tradisi ini, seperti memberikan subsidi
minyak tanah pada masyarakat.