Artikel : Air
Penulis : Tyo Mokoagouw, Dirut Lembaga Penyiaran "BTAku", PB BTA Sulut
Kota Miletius, destinasi banyak pelancong di Asia kecil pada era Yunani Kuno. Berkisar tahun 624-546 SM, seorang filsuf yang menandai awal revolusi filsafat telah lahir dan hidup pada waktu ini: Thales. Situasi Miletius yang disesaki pedagang makmur dengan kondisi sosial sejahtera merupakan tempat kondusif mengisi waktu dan berpikir tentang segala sesuatu. Kota ini merupakan saksi, dari lahirnya sebuah abad pemikiran yang mendahului era Sokrates.
Kota Miletius, destinasi banyak pelancong di Asia kecil pada era Yunani Kuno. Berkisar tahun 624-546 SM, seorang filsuf yang menandai awal revolusi filsafat telah lahir dan hidup pada waktu ini: Thales. Situasi Miletius yang disesaki pedagang makmur dengan kondisi sosial sejahtera merupakan tempat kondusif mengisi waktu dan berpikir tentang segala sesuatu. Kota ini merupakan saksi, dari lahirnya sebuah abad pemikiran yang mendahului era Sokrates.
Foto : Tyo Mokoagouw
Zaman pra-Socratic dikenal tujuh manusia bijaksana yang mengawali perjalanan panjang filsafat dan pemikiran peradaban umat manusia. Mereka dijuluki hoi hepta sophoi atau al-Hukama’ al-Sab’ah. Sebagai tokoh terpenting diantara mereka sekaligus pelopor, yakni Thales, yang disematkan gelar bapak filsafat oleh Aristoteles. Pemikir yang juga dikenal sebagai pencetus awal theorema Thales.
Mungkin sejak dari Mesir, salah satu negara yang difavoritkan Thales sebagai tujuan berlayar: beliau mulai menyadari betapa perniagaan membutuhkan kondisi tanah yang subur sebagai tempat menetap. Mesir yang terkenal dengan negeri tandus dan penuh padang pasir telah mengantarkan imajinasi Thales pada kontemplasi tentang asal muasal alam semesta.
Air, adalah sumber eksistensi kosmos bagi Thales; air merupakan pangkal, segenap prasyarat bagi ikhwal kehidupan di muka bumi. “Bukankah tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia lahir dari tempat yang lembab? bakteri-bakteri hidup dan berkembang di tempat yang lembab, bakteri makan sesuatu yang lembab dan kelembaban bersumber dari air. Dari air itu terjadilah tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan tanah pun mengandung air.”
Tentu saja sebelum kehancuran rezim para dewa oleh Sokrates, Thales yang hidup sebelumnya masih sangat terikat dengan metafisika yang demikian. Tepatnya animisme, sebagai aliran kepercayaan yang ia pegang teguh. Dengan hatinya, erat dia yakini bahwa air memiliki jiwa, dan jiwa seluruh alam semesta beserta isinya, bersumber dari jiwa air ini.
Lamun, masihkah tesis Thales berlaku sama pada tragedi yang menimpa Nuh dan kaumnya? Pada masyarakat kitab, legenda itu diturunkan secara turun temurun; diwariskan sebagai pelajaran bagi orang yang berpikir.
Peristiwa Air Bah yang diterima kaum Nuh mesti kita maknai apa? Air sebagai sumber kehidupan makhluk bumi harus kembali dipertanyakan: “sejauh mana kebermanfaatannya?” Namun begitulah paradoksikalitas hidup, mekanisme dialektika yang senantiasa mengontrol cara manusia menyusun dan mempertahankan kehidupan dunia. Ironis bukan? Apabila sumber kehidupan bisa menjadi sumber malapetaka sekaligus.
Syahdan, gagasan mengenai paradoks ini harus sekali lagi membuat kita terbentur. Akankah air sebagai bencana itu adalah peristiwa a-historis? Dan isyarat Thales menyelipkan pengetahuan dalam benak kita bila air adalah metafora dari kehidupan. Yang dengan itu Tuhan membuat bibit-bibit mati di bawah tanah tumbuh sehat serta menjadi pangan yang mensejahterakan peradaban umat manusia.
Mungkinkah tesis Thales itu tetap ia pertahankan apabila beliau bangkit dari makamnya dan menyaksikan bagaimana air kini tengah menjadi bagian dari sengkarut problematika umat manusia?
Manusia punya keterikatan yang begitu besar terhadap eksistensi air. Seseorang bisa bertahan hidup tanpa makan selama seminggu. Tetapi seminggu saja tidak akan pernah terlewati apabila seseorang melewati hari tanpa minum sekalipun. 4/5 komposisi tubuh manusia adalah air; suatu hal mustahil apabila membayangkan hidup kehausan selamanya.
Mengingat 70% luas planet kita terdiri dari air, mungkin kita masih bisa duduk santai sembari menggampangkan air sebagai kebutuhan yang mudah diperoleh. Namun kita tidak pernah begitu teliti untuk menelaah bahwa 97 persen dari air bumi adalah samudera asin. 87% sisanya dari 3% tadi tersimpan sebagai gumpalan es di kutub dan terpendam dalam bumi sebagai air tanah. Dengan demikian, hanya 0,003% air yang dapat dimanfaatkan. Masalahnya hari ini adalah, air yang berkualitas keberadaannya selalu di tempat yang tidak tepat dan tidak terjangkau.
Problem ketersediaan air ini semakin memperlihatkan urgensinya mengingat potensi ledakan populasi yang semakin meningkat. Mari kita bayangkan: 10 tahun terakhir jumlah penduduk bumi berkisar 7 Milliar. Dalam 30 tahun yang akan datang, akan melesat menjadi 9 M. Dengan demikian kebutuhan pangan semakin meningkat yang berbanding lurus dengan peningkatan air minum higienis. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO meramalkan: kelak tahun 2025, akan ada 1,8 M penduduk di daerah langka air absolut.
Problematika ledakan penduduk hanyalah salah satu variabel dari problem air di masa depan kita. Di sisi lain, bagai efek domino, kita akan menghadapi persoalan: industrialisasi, perubahan iklim, kesadaran publik, urbanisasi tak terkendali dan lain sebagainya. Saking urgentnya problematika ini, akhir Juli 2010 kemarin PBB mengumumkan bahwa hak atas akses air yang layak merupakan salah satu indikator pemenuhan HAM.
Air, dalam perspektif purba merupakan barang yang sangat murah, gratis dan mudah diperoleh – keyakinan yang mengakar kuat pada alam bawah sadar kolektif umat manusia. Lalu kita semua perlu bertanya: ada apa dengan mereka yang didera malaria, kolera, diare? Ada apa dengan ribuan bayi yang mati dalam kerongkongan kekeringan di Afrika sana? Ada apa dengan mereka yang keracunan karena satu-satunya akses paling mudah adalah terhadap air kotor yang terkontaminasi limbah?
Air, dalam perspektif purba merupakan barang yang sangat murah, gratis dan mudah diperoleh – keyakinan yang mengakar kuat pada alam bawah sadar kolektif umat manusia. Lalu kita semua perlu bertanya: ada apa dengan mereka yang didera malaria, kolera, diare? Ada apa dengan ribuan bayi yang mati dalam kerongkongan kekeringan di Afrika sana? Ada apa dengan mereka yang keracunan karena satu-satunya akses paling mudah adalah terhadap air kotor yang terkontaminasi limbah?
Sepertinya ada yang salah, apabila air yang berlimpah ruah di planet kita mulai dikhawatirkan oleh umat manusia; Sepertinya ada yang tidak beres, apabila telah banyak keprihatinan yang mendorong para ilmuwan melibatkan diri demi menyelamatkan krisis air masa depan. Wacana kebutuhan air bersih ini telah melampaui mitos “air sebagai barang yang tidak terbatas”, terutama tatkala para aktivis lingkungan serta TNI menilik bahwa sangat mungkin apabila 50 tahun mendatang, sumber-sumber air akan dijaga oleh tentara-tentara militer akibat semakin menipisnya persediaan air dunia.
Lambat laun, bumi kehausan.
Lambat laun, bumi kehausan.
Memikirkan krisis yang berselirat ini, mendadak aku diingatkan oleh protes para malaikat atas rencana Tuhan menghadirkan khalifah fil ‘ard. “Kenapa hendak Engkau ciptakan makhluk yang melakukan tumpah darah di bumi?”
Frase “tumpah darah” diatas mungkin adalah alegori, bukankah kitab suci menggemari metafora dan kiasan? “Tumpah darah” adalah tidak harmonisnya hubungan antara manusia dan alam (hablu min bi’ah). Para filsuf menyebut ini sebagai dis-equilibrium. Manusia telah kehilangan ingatan purba mereka, bahwa kita adalah bagian dari sebuah komunitas yang lebih besar, biotic community.
Mungkinkah semua berawal dari modernisme? Saat filsuf renaisains mengumandangkan cogito ergo sum dan sapere aude? Tatkala para fisikawan memekikan aksioma tentang alam semesta yang mekanistik? Paradigma Cartesian-Newtonian yang demikian telah menyeret umat selanjutnya untuk berpikir reduksionist dan atomistik: manusialah pusat alam semesta, selain manusia, adalah segala sesuatu yang patut dimangsa dan dikuras.
Alam diringkus oleh kebengisan manusia yang egois; Hasrat menunggangi tangan kita tuk senantiasa menggenjot kebangkitan industrialisasi; manusia abai memperhatikan efek destruktif akibat enggan memakai alat kontrasepsi; perubahan iklim dianggap suatu keniscayaan; nalar konsumerisme merajarela; urbanisasi tak terkendali telah mengukuhkan superioritas pabrik-pabrik yang menenggelamkan air bersih dengan air limbah.
Dalam mahakaryanya, Benturan antar Peradaban, Fritjof Chapra mengungkapkan: pemulihan keseimbangan antara dimensi sosial dan ekolgis itu penting!
Dalam mahakaryanya, Benturan antar Peradaban, Fritjof Chapra mengungkapkan: pemulihan keseimbangan antara dimensi sosial dan ekolgis itu penting!
Roszak, menggambarkan kesalingtergantungan antara kesejahteraan manusia & ekosistem planet dengan ungkapan, “kebutuhan bumi merupakan kebutuhan manusia.... hak-hak manusia juga merupakan hak-hak bumi.”
Disamping itu, telah berkembang sebuah paradigma lingkungan yang menjadi alternatif daripada paradigma ekologi yang dianggap sekedar etis-deskriptif itu. Arne Naess, menawarkan Ekosofi sebagai alternatif. Ekosofi Naess menunjukan dibutuhkannya kemampuan individu yang bukan saja rasional, tetapi harus ada sensibilitas dalam filosofi Naess. Sensibilitas dianggap sebagai keyakinan bahwa bumi dan manusia sesungguhnya satu substansi besar – seperti ungkapan Spinoza.
Kerangka filosofis dan spiritual ekologi bukanlah sesuatu yang sama sekali baru tetapi telah dirumuskan berkali-kali sepanjang sejarah umat manusia. Diantaranya Taoisme menawarkan salah satun ungkapan kearifan ekologis paling besar nan indah, yang menekankan baik kesatuan fundamental maupun hakikat fenomena alam dan sosial yang dinamis. Begitualh Huai Nan Tzu: “Barangsiapa mengikuti tatanan alam mengalir dalam arus Tao.”
Tidak ayal lagi, dis-equilibrium ini adalah kenyataan dari kegelisahan para malaikat mengenai “tumpah darah” di muka bumi. Pengembaraan panjang umat manusia sejak zaman nomadenisme telah menimbulkan amnesia akut: kita lupa rumah sebenarnya, bumi. Manusia lupa, bahwa kita bagian dari biotic community yang lebih besar, komunitas ekosistem, makro-kosmos.
Sekali lagi patutkah kita menyaksikan air bah yang menimpa Nuh sebagai fakta yang menampik tesis Thales bahwa air adalah sumber alam semesta? Bagiku tidak. Air memang metafora kehidupan, sebab tanpa air bah itu, bahtera Nuh tidak akan pernah menyelematkan dan menyadarkan hewan-hewan serta manusia di dalamnya, bahwa mereka merupakan satu substansi besar dalam operasi simbiosis mutualisme.
Ekosofi adalah gerakan penyadaran, yang menahan rasionalitas manusia dan mengembalikan spiritualitas sebagai kaca mata analisa kita. Tidak heran Fritjof Chapra mengatakan bahwa perlahan-lahan, Peradaban Barat hendak mencampakan nalar industrialisasi yang eksploitatif itu karena mulai tertarik dengan mistisme-spiritualitas Timur yang purwa.
Air bukan hanya tentang alam serta lingkungan, dan bukan hanya tentang manusia dan cucu-cucu mereka. Air adalah tentang kehidupan; metafora akan hayat. Laiknya ucapan Thales dari Miletius yang mungkin disepakati oleh Fritjof Chapra, Rozsak, Naess maupun Huai Nan Tzu.
Kecurigaan akan “tumpah darah” para malaikat, dibidas dengan bijak oleh Tuhan: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.”
Dalam dis-equilibrium seakut zaman inipun, Tuhan masih optimis, akankah kitapun sama?